Rabu, 02 Januari 2013

budayakan gerakan anti korupsi

MEMBUDAYAKAN GERAKAN ANTI KORUPSI DALAM RANGKA
PENANGGULANGAN KORUPSI DI INDONESIA
ABSTRAK
Pemberantasan atau penanggulangan tindak pidana korups i diera
reformasi, ditandai dengan lahirnya lembaga baru yang bernama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK, karena lembaga pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien.
KPK dengan segala kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang
telah bekerja dan berhasil membongkar kasus-kasus korupsi yang besar
pada instansi yang selama ini tidak terjangkau oleh aparat penegak
hukum. Namun dalam melaksanakan tugasnya KPK menghadapi kendala
antara lain berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang
belum menunjang. Oleh karena itu perlu dibudayakan nilai-nilai dan sikap-
sikap anti k orupsi dalam masyarakat, agar penanggulangan tindak pidana
korupsi efektif dan efisien. Untuk itu KPK sebagai ujung tombak, bekerja
sama dengan semua komponen masyarakat ; LSM, pers, dan tokoh-tokoh
masyarakat dalam membudayakan gerakan anti korupsi dalam rangka
penanggulangan korupsi di Indonesia.
Keywords: Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
I   PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Di era reformasi ini tekad pemerintah menyelenggarakan
pemerintahan yang baik (good goverment) dan pemerintahan yang bersih
(clean goverment) sering didengungkan, dan disambut antusias oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia, yang telah lama mendambakan
kesejahteraan dan keadilan s ebagaimana amanat Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hal itu, maka terlebih dahulu
korupsi dalam segala bentuknya harus diberantas atau dengan kata lain
ditanggulangi, sehingga korupsi tidak merajalela. Pemerintahan yang bisa
mengendalikan korupsi adalah pemerintahan yang kuat, bersih, terbuka,
pemimpin yang tidak otoriter, menegakkan supremasi hukum, dan
berorientasi kepada kesejahteraan rakyat (Erlangga Masidian, Kompas,
26 Agustus 1999).
1


46
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
Bahwa penanggulangan korupsi telah membuahkan hasil berupa
timbulnya budaya takut pada sebagian birokrat untuk melakukan korupsi,
tercermin dari sikap hati-hati pada pelayanan publik, sampai pada sikap
penolakan sebagian pejabat untuk menjadi Pimpinan Pr oyek (Pimpro) dan
Bendahara Proyek yang sebelumnya posisi ini menjadi “rebutan” banyak
pihak. Meski hal ini bukan menjadi tolak ukur bahwa korupsi sudah tidak
ada lagi di Indonesia, karena pada kenyataannya, kepercayaan
masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum, Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan semakin menurun (rendah).
Kini kepercayaan dan harapan masyarakat luas dalam
penanggulangan korupsi hanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang dibentuk justru karena lembaga pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien
dalam memberantas tindak pidana korupsi (lihat konsiderans Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK) .
KPK dengan segala kewenangan yang ada padanya telah bekerja,
dan berhasil membongkar kasus-kasus korupsi besar pada instansi yang
selama ini tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum. Namun ditengah
keberhasilannya itu KPK menghadapi beberapa kendala, sebagai berikut :
(Jeane Neltje Saly, 2007).
a.  Adanya kesan ketidakharmonisan antara lembaga Kejaksaan dan
Kepolisian dengan KPK, karena KPK dianggap sebagai saingan atau
kompetitor dalam proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi.
b.  KPK dianggap sarat dengan muatan politis, anggapan ini timbul karena
adanya asumsi bahwa pemerintah Indonesia mengalami tekanan dari
dunia internasional yang telah mengklasifikasikan Indonesia sebagai
salah satu negara terkorup di dunia. Oleh karena itu pembentukan
KPK dianggap hanya sebagai solusi sementara menghadapi tudingan
tersebut.
c. Masyarakat sudah jenuh dengan janji pemerintah memberantas
korupsi sehingga dianggap sebagai lip servis, dan menimbulkan sikap
apriori masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh KPK tersebut harus segera
diatasi dan dicarikan solusinya, jika tidak ingin penanggulangan korupsi
mengalami kegagalan seperti pada era-era sebelumnya, bahkan
kemungkinan korupsi akan lebih merajalela dimasa mendatang.
Mencuatnya kasus Bibit-Chandra beberapa waktu lalu membuktikan hal
ini.
2. PERMASALAHAN
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam
penulisan artikel ini, masalah utama yang akan dibahas adalah


Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.                                                            47
membudayakan gerakan anti korupsi dalam rangka penanggulangan
tindak pidana korupsi di Indonesia, dan peran pemerintah serta KPK
dalam gerakan dimaksud.
II. PEMBAHASAN
1. Budaya (Hukum) dan Penanggulangan Korupsi
Friedman (1975) menyatakan bahwa dalam hal pengkajian Sistem
Hukum (legal system) dapat didekati dari tiga komponen, yaitu struktur,
substansi, dan kultur (budaya). Komponen struktur adalah bagian-bagian
yang bergerak dalam suatu mekanisme, komponen substansi merupakan
hasil aktual yang dihasilkan oleh sistem hukum dan meliputi kaedah-
kaedah hukum yang tidak tertulis. Sedangkan komponen kultur adalah
nilai-nilai dan sikap-sikap yang mengikat sistem hukum itu secara
bersama dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dalam
budaya masyarakat secara keseluruhan.
Komponen kultur (budaya) memegang peranan yang sangat penting
dalam penegakan hukum pidana. Adakalanya tingkat keberhasilan
penegakan hukum pada suatu masyarakat tinggi karena didukung oleh
kultur masyarakat, misalnya melalaui partisipasi masyarakat (
public
participation
) yang sangat tinggi pula dalam pencegahan kejahatan,
melaporkan dan membuat pengaduan terjadinya kejahatan di
lingkungannya dan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam
usaha penanggulangan kejahatan, meskipun komponen struktur dan
substansinya tidak begitu baik, dan bahkan masyarakat tidak
menginginkan prosedur formal itu ditetapkan sebagaimana mestinya.
Sebaliknya komponen struktur dan substansi yang sangat baik atau
“modern” dalam kenyataannya tidak menghasilkan output penegakan
hukum yang tinggi, karena kultur masyarakat tidak mendukung prosedur
formal yang telah ditetapkan. Padahal penegakan hukum akan selalu
berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan sosialnya :
pelaksanaannya akan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah
ditentukan melalui fungsi dari bekerjanya proses dan kekuatan-kekuatan
dalam masyarakat, yaitu sosial, politik, dan kebudayaan. Dengan
demikian, maka hukum akan menjadi wadah bagi penyaluran proses-
proses dalam masyarakat, yang secara teoritis fungsi demikian itu dapat
dilaksanakannya, baik dengan cara memberikan jalan agar proses-proses
berjalan dengan tertib dan teratur, maupun untuk mengalurkannya sesuai
dengan tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan.


48
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
Sebagaimana kejahatan pada umumnya, korupsi dapat terjadi kapan
saja dan dimana saja, dilak ukan baik oleh k alangan atas (elit) di pusat dan
daerah, maupun oleh kalangan bawah (pegawai rendahan), seperti :
dalam pembuatan KTP, SIM dan berbagai macam perizinan. Korupsi
menggoroti kehidupan masyarakat terutama rakyat kecil yang
menanggung beban ekonomi biaya tinggi, dan melambungnya harga
barang-barang kebutuhan pokok ditengah sulitnya kehidupan.
Penanggulangan ter hadap kejahatan (termasuk korupsi) pada
hakikatnya adalah suatu policy atau kebijakan yang dipilih oleh penguasa
(pemerintah) dalam kerangka kebijak an atau politik kriminal . (Sudarto)
(1981 : 161) mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan kriminal,
yaitu :
a.  Dalam arti sempit, ialah keseluruhan as as dan metode yang menjadi
dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana ;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi ;
c.  Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan
untuk menegakkan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, dan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat
(social defence
), serta upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (
social welfare
). Oleh karena itu tujuan akhir
dan utamanya adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Agar penanggulangan korupsi efektif dan efisien, maka perlu
diketahui terlebih dahulu faktor-faktor penyebabnya. Menurut Syed
Hussein Alatas (1986:46), faktor-faktor penyebab korupsi adalah :
a.  Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci
yang mampu memberikan ilham dan tingkah laku yang menjinakkan
korupsi.
b.  Kelemahan pengajaran agama dan etika.
c.  Kolonialisme, suatu pemerintah asing tidaklah menggugah kesetiaan
dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Kemiskinan.
f.  Tiadanya tindakan hukum yang keras.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
h. Struktur pemerintahan.
i.  Perubahan radikal, tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan
radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.


Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.                                                            49
j.  Keadaan masyarakat, korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan
cerminan keadaan masyarakat keseluruhan.
Dari berbagai faktor penyebab korupsi di atas, sangat erat kaitannya
dengan aspek budaya (hukum), maka perlu suatu gerakan
membudayakan nilai-nilai dan sikap-sikap anti korupsi di tengah
masyarakat Indonesia, sehingga akan menjadi motor penggerak bagi
bekerjanya hukum. Seperti dikemukakan Satjipto Kahardjo (1980:36)
dengan mengutip Friedman ; bahwa nilai-nilai dan sikap-sikap ini
dianggap semacam bensin yang akan menggerakkan motor tatanan
hukum yang ada, bahwa tanpa motor penggerak ini maka pranata hukum
itu akan menjadi lembaga yang mati belaka. Unsur nilai-nilai dan sikap-
sikap inilah yang kemudian dikenal dengan nama kultur hukum. Dalam hal
nilai-nilai hukum dan sikap-sikap anti korupsi dimaksud adalah agar setiap
warga masyarakat tidak mentolerir segala bentuk pengimpangan yang
cenderung korup dan merugikan pihak lain, seperti : tidak mau menerima
dan memberi suap sebagai jalan pintas dalam mengurus suatu keperluan,
melaporkan kepada aparat penegak hukum jika mengetahui adanya
praktek suap atau korupsi dalam segala bentuk, seperti dirumuskan dalam
Undang-undang Nom or 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001, terdapat 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi
yang pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut (Ahmad Ubbe,
2007) :
a. Kerugian uang negara ;
b. Suap-menyuap ;
c. Penggelapan dalam jabatan ;
d. Pemerasan ;
e. Perbuatan curang ;
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
g. Gratifikasi.
Bukan rahasia lagi bahwa pengurusan hampir semua keperluan
hidup dalam masyarakat, seperti masuk sekolah, mencari pekerjaan,
berbagai macam perizinan, pengasahan hak dan sebagainya dapat diatur,
dalam arti bagi mereka yang mau dam mampu memberi suap urusannya
akan lancar dan sesuai dengan keinginan. Sedangkan bagi mereka yang
tidak mau dan tidak mampu memberi suap urusannya akan tersendat atau
resiko ditolak meski telah melengkapi semua persyaratan yang diperlukan
untuk itu. Fakta atau kenyataan ini telah lama berlangsung namun sampai
saat ini belum tersentuh oleh hukum. Seakan-akan hal semacam ini sudah
menjadi hal yang biasa dalam masyarakat. Dengan kata lain sudah
menjadi budaya. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan berlarut jika tidak
menginginkan bangsa Indonesia semakin terpuruk dan perlu tindakan
reaktif yang tegas dan berkelanjutan (
counter act
) dari pemerintah dan
semua pihak yang masih memiliki integritas dan moral yang tinggi.


50
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
Muladi (tanpa tahun:3), mengatakan satu hal yang perlu diperhatikan
adalah bahwa tidak boleh mengharapkan terlalu besar tentang peranan
sistem peradilan pidana sebagai pengendali kejahatan, sebab sistem ini
hanya merupakan salah satu sarana saja dalam politik kriminal (yang
bersifat penal). Sistem peradilan pidana hanya berfungsi terhadap
recorded crimes
yang menjadi masukannya. Fungsinya pun kadang-
kadang tidak dapat bersifat maksimal (
total anforcement
) sebab demi
menjaga keseimbangan antara ketertiban umum (
public order)
dan hak-
hak individual (
individual right
) maka batas-batas penegakan hukum
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang ketat.
Keterbatasan hukum pidana dangan sistem peradilan pidananya
mengakibatkan tidak semua pelaku kejahatan korupsi dapat diajukan ke
pengadilan, bahkan tidak jarang meski sampai ke pengadilan hasilnya
adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, karena
syarat-syarat pembuktian yang harus dipenuhi menur ut Undang-Undang
tidak mencukupi atau kurang memadainya alat bukti yang ada.
Hal itu menunjukkan betapa pentingnya sarana penanggulangan
lainnya yang diharapkan dapat berfungsi dengan baik, yaitu sarana non
penal atau pencegah tanpa menggunakan pidana (
prevention without
punishment
). Kenyataan tersebut akan lebih memprihatinkan apabila di
tubuh aparat yang seharusnya menegakkan hukum ternyata dapat “diatur”
oleh pihak koruptor dengan diimingi imbalan (suap) untuk mementahkan
perkaranya yang dikenal dengan istilah mafia hukum, makelar kasus dan
sebagainya.
2. KPK Sebagai Ujung Tombak Membudayakan Gerakan Anti
Korupsi di Masyarakat
Beberapa waktu yang lalu masyarakat dikejutkan dengan
mencuatnya skandal Bank Century dan kasus Bibit-Chandra yang menyita
perhatian hampir seluruh lapis an masyarakat. Betapa tidak, belum lagi
tuntas kasus yang menimpa mantan ketua KPK Antasari Azhar yang
kontroversi itu, masyarakat bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Kasus-kasus tersebut seakan suatu bukti bahwa apa yang menjadi
kendala bagi KPK dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi,
dan seakan kesemuanya itu merupak an rekayasa atau perlawanan
(counter) dari pihak-pihak yang tidak senang dengan keberhasilan KPK,
dengan tujuan melemahkan KPK. Diluar dugaan sebagai reaksi
masyarakat telah melahirkan gerakan moral yang dahsyat dan belum
pernah terjadi selama ini, dimana masyarakat luas m emberikan dukungan
kepada KPK untuk tetap melaksanakan tugasnya dalam memberantas
korupsi. Mengingat korupsi telah menjalar pada semua bidang kehidupan


Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.                                                            51
dan telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (
exstra ordinary crime
),
sehingga untuk menanggulangi korupsi diperlukan cara-cara yang luar
biasa pula. Sehubungan dengan hal itu Chandra M. Chamsah salah satu
pimpinan KPK mengatakan, bahwa saat ini gerakan anti korupsi berubah
menjadi gerakan “kultural”, gerakan ini harus terus mendapat dukungan
(Jambi Ekspres, 9 Desember 2009).
Ini adalah moment yang tepat bagi KPK dan seluruh lapisan
masyarakat meningkatkan gerakan anti korupsi dengan membudayakan
nilai-nilai dan sikap-sikap anti korupsi pada seluruh lapisan masyarakat
melalui pendidikan baik formal maupun non formal secara
berkesinambungan, dengan menanamkan pemahaman bahwa korupsi
dalam segala bentuknya adalah perbuatan yang merugikan masyarakat
dan tercela secara moral, etika, dan agama. Meskipun demikian
penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana) harus terus
ditingkatkan dengan melakukan perbaikan-perbaikan dalam
pelaksanaannya. Karena walaupun penegakan hukum pidana dalam
rangka penanggulangan kejahatan (termasuk korupsi) bukan merupakan
satu-satunya tumpuan harapan, namun keberhasilannya sangat
diharapkan karena pada bidang penegakan hukum inilah dipertaruhkan
makna dari negara berdasarkan hukum (Muladi, tanpa tahun:7).
Sudah terlalu banyak kasus korups i berlalu tanpa proses hukum
dimasa lalu, hal ini tentunya tidak boleh terulang lagi. Kini masanya
masyarakat bangkit melawan segala bentuk korupsi pada semua
tingkatan bersama KPK, dan untuk itu KPK sebagai motivator masyarakat
menjadi ujung tombak dalam penanggulangan korupsi harus ada pada
setiap Propinsi baik Kabupaten/Kota diseluruh wilayah Indonesia dan
dilengkapi dengan sarana serta prasarana yang memadai.
Hal itu sesuai dengan tugas dan wewenang KPK berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang antara lain menyatakan :
Pasal 6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas :
a.  Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana kor upsi ;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi ;
c.  Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi ;
d. Melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan
e.  Melakukan motivator terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 13 :


52
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut :
a.  Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
kekayaan penyelenggara negara ;
b.  Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi ;
c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap
jenjang pendidikan ;
d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana kor upsi ;
e.  Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum ;
f.  Melakukan kerjasama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf d, dan Pasal 13 huruf c, d, dan
e terdsebut di atas, maka jelas bahwa KPK bertugas dan memiliki
wewenang untuk menyelenggar akan gerakan anti korupsi pada semua
jenjang pendidikan, dan melakukan kampanye anti korupsi kepada
masyarakat umum dalam rangka melaksanakan tugas pencegahan tindak
pidana korupsi, disamping tugas represif atau penegakan hukum pidana.
Dengan demikian diaharapk an suatu saat nanti timbulnya budaya malu
(bukan takut) melakukan korupsi dan budaya anti terhadap perbuatan
korupsi dalam masyarakat Indonesia.
Gerakan anti korupsi tersebut harus didukung oleh semua lapisan
masyarakat seperti mahasiswa, LSM, dan pers baik media cetak maupun
elektronik, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda, dan organisasi massa
lainnya.


Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
53
III.   PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
a.  Membudayakan gerakan anti korupsi, adalah upaya yang sungguh-
sungguh dan berkelanjutan dari penguasa (pemerintah)
menanamkan pemahaman bahwa korupsi adalah perbuatan yang
tercela berdasarkan agama, sosial dan hukum.
b.  Gerakan anti korupsi, akan menimbulkan budaya malu melakukan
korupsi, dan sikap anti terhadap perbuatan-perbuatan korupsi
dalam masyarakat sehingga akan melaporkan kepada aparat
penegak hukum, dan mengawasi prosesnya.
c.  KPK sebagai ujung tombak dan koordinator gerakan anti korupsi di
Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002
khususnya Pasal 6 huruf d dan Pasal 13 huruf c, d dan e.
2. Saran
Agar gerakan anti korupsi dapat berjalan dengan efektif, maka perlu
dibentuk lembaga KPK pada s etiap Propinsi baik di Kabupaten dan Kota
diseluruh Indonesia lengkap dengan sarana dan prasarana yang
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas,
Syed Hussein, Sosiologi Korupsi
, LP3S, Jakarta, 1986.
Friedman,
Lawrence.M, The Legal System, A Social Perspective, Rusel
Sage Foundation,
Newyork, 1975.
Masdiana Erlangga,
Korupsi Dalam Wajah Politik Kekuasaan
, Kompas, 26
Agustus 1999.
Muladi,
Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Universitas Diponogoro,
tanpa tahun.
Nawawi,
Barda Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996.


54
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
Neltje, Jeane Saly,
Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Legislasi Indonesia
Vol. 4 No. 1,
Maret 2007, Ditjen Peraturan Perundang-Undangan DEPKUMHAM.
Rahardjo, Satjipto,
Hukum dan Perubahan Sosial
, Alumni, Bandung, 1983.
Sudarto,
Hukum dan Hukum Pidana
, Alumni, Bandung, 1981.
Ubbe,
Ahmad, Implikasi Putusan Bebas Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia, Jurnal Legislasi Indonesia
Vol. 4 No. 1, Maret 2007,
Ditjen Peraturan Perundang-Undangan DEPKUMHAM.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemebrantasan
Korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar