MEMBUDAYAKAN GERAKAN ANTI KORUPSI DALAM RANGKA
|
PENANGGULANGAN KORUPSI DI INDONESIA
|
ABSTRAK
|
Pemberantasan atau penanggulangan tindak pidana korups
i diera
|
reformasi, ditandai dengan lahirnya lembaga baru yang
bernama Komisi
|
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30
|
Tahun 2002 tentang KPK, karena lembaga pemerintah yang
menangani
|
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien.
|
KPK dengan segala kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang
|
telah bekerja dan berhasil membongkar kasus-kasus
korupsi yang besar
|
pada instansi yang selama ini tidak terjangkau oleh
aparat penegak
|
hukum. Namun dalam melaksanakan tugasnya KPK
menghadapi kendala
|
antara lain berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam
masyarakat yang
|
belum menunjang. Oleh karena itu perlu dibudayakan
nilai-nilai dan sikap-
|
sikap anti k orupsi dalam masyarakat, agar
penanggulangan tindak pidana
|
korupsi efektif dan efisien. Untuk itu KPK sebagai
ujung tombak, bekerja
|
sama dengan semua komponen masyarakat ; LSM, pers, dan
tokoh-tokoh
|
masyarakat dalam membudayakan gerakan anti korupsi
dalam rangka
|
penanggulangan korupsi di Indonesia.
|
Keywords: Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
|
I PENDAHULUAN
|
1. Latar Belakang Masalah
|
Di era reformasi ini tekad pemerintah menyelenggarakan
|
pemerintahan yang baik (good goverment) dan
pemerintahan yang bersih
|
(clean goverment) sering didengungkan, dan disambut
antusias oleh
|
seluruh lapisan masyarakat Indonesia, yang telah lama
mendambakan
|
kesejahteraan dan keadilan s ebagaimana amanat
Pembukaan Undang-
|
Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan hal itu, maka
terlebih dahulu
|
korupsi dalam segala bentuknya harus diberantas atau
dengan kata lain
|
ditanggulangi, sehingga korupsi tidak merajalela.
Pemerintahan yang bisa
|
mengendalikan korupsi adalah pemerintahan yang kuat,
bersih, terbuka,
|
pemimpin yang tidak otoriter, menegakkan supremasi
hukum, dan
|
berorientasi kepada kesejahteraan rakyat (Erlangga
Masidian, Kompas,
|
26 Agustus 1999).
|
1
|
46
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
|
Bahwa penanggulangan korupsi telah membuahkan hasil
berupa
|
timbulnya budaya takut pada sebagian birokrat untuk
melakukan korupsi,
|
tercermin dari sikap hati-hati pada pelayanan publik,
sampai pada sikap
|
penolakan sebagian pejabat untuk menjadi Pimpinan Pr
oyek (Pimpro) dan
|
Bendahara Proyek yang sebelumnya posisi ini menjadi
“rebutan” banyak
|
pihak. Meski hal ini bukan menjadi tolak ukur bahwa
korupsi sudah tidak
|
ada lagi di Indonesia, karena pada kenyataannya,
kepercayaan
|
masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum,
Kepolisian,
|
Kejaksaan dan Pengadilan semakin menurun (rendah).
|
Kini kepercayaan dan harapan masyarakat luas dalam
|
penanggulangan korupsi hanya kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi
|
(KPK) yang dibentuk justru karena lembaga pemerintah
yang menangani
|
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien
|
dalam memberantas tindak pidana korupsi (lihat
konsiderans Undang-
|
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK) .
|
KPK dengan segala kewenangan yang ada padanya telah
bekerja,
|
dan berhasil membongkar kasus-kasus korupsi besar pada
instansi yang
|
selama ini tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum.
Namun ditengah
|
keberhasilannya itu KPK menghadapi beberapa kendala,
sebagai berikut :
|
(Jeane Neltje Saly, 2007).
|
a. Adanya kesan
ketidakharmonisan antara lembaga Kejaksaan dan
|
Kepolisian dengan KPK, karena KPK dianggap sebagai
saingan atau
|
kompetitor dalam proses penyidikan kasus tindak pidana
korupsi.
|
b. KPK dianggap
sarat dengan muatan politis, anggapan ini timbul karena
|
adanya asumsi bahwa pemerintah Indonesia mengalami
tekanan dari
|
dunia internasional yang telah mengklasifikasikan
Indonesia sebagai
|
salah satu negara terkorup di dunia. Oleh karena itu
pembentukan
|
KPK dianggap hanya sebagai solusi sementara menghadapi
tudingan
|
tersebut.
|
c. Masyarakat sudah jenuh dengan janji pemerintah
memberantas
|
korupsi sehingga dianggap sebagai lip servis, dan
menimbulkan sikap
|
apriori masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
|
Kendala-kendala yang dihadapi oleh KPK tersebut harus
segera
|
diatasi dan dicarikan solusinya, jika tidak ingin
penanggulangan korupsi
|
mengalami kegagalan seperti pada era-era sebelumnya,
bahkan
|
kemungkinan korupsi akan lebih merajalela dimasa
mendatang.
|
Mencuatnya kasus Bibit-Chandra beberapa waktu lalu
membuktikan hal
|
ini.
|
2. PERMASALAHAN
|
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas,
maka dalam
|
penulisan artikel ini, masalah utama yang akan dibahas
adalah
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
47
|
membudayakan gerakan anti korupsi dalam rangka
penanggulangan
|
tindak pidana korupsi di Indonesia, dan peran
pemerintah serta KPK
|
dalam gerakan dimaksud.
|
II. PEMBAHASAN
|
1. Budaya (Hukum) dan Penanggulangan Korupsi
|
Friedman (1975) menyatakan bahwa dalam hal pengkajian
Sistem
|
Hukum (legal system) dapat didekati dari tiga
komponen, yaitu struktur,
|
substansi, dan kultur (budaya). Komponen struktur
adalah bagian-bagian
|
yang bergerak dalam suatu mekanisme, komponen substansi
merupakan
|
hasil aktual yang dihasilkan oleh sistem hukum dan
meliputi kaedah-
|
kaedah hukum yang tidak tertulis. Sedangkan komponen
kultur adalah
|
nilai-nilai dan sikap-sikap yang mengikat sistem hukum
itu secara
|
bersama dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan
hukum dalam
|
budaya masyarakat secara keseluruhan.
|
Komponen kultur (budaya) memegang peranan yang sangat
penting
|
dalam penegakan hukum pidana. Adakalanya tingkat
keberhasilan
|
penegakan hukum pada suatu masyarakat tinggi karena
didukung oleh
|
kultur masyarakat, misalnya melalaui partisipasi
masyarakat (
|
public
|
participation
|
) yang sangat tinggi pula dalam pencegahan kejahatan,
|
melaporkan dan membuat pengaduan terjadinya kejahatan
di
|
lingkungannya dan bekerjasama dengan aparat penegak
hukum dalam
|
usaha penanggulangan kejahatan, meskipun komponen
struktur dan
|
substansinya tidak begitu baik, dan bahkan masyarakat
tidak
|
menginginkan prosedur formal itu ditetapkan
sebagaimana mestinya.
|
Sebaliknya komponen struktur dan substansi yang sangat
baik atau
|
“modern” dalam kenyataannya tidak menghasilkan output
penegakan
|
hukum yang tinggi, karena kultur masyarakat tidak
mendukung prosedur
|
formal yang telah ditetapkan. Padahal penegakan hukum
akan selalu
|
berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan
sosialnya :
|
pelaksanaannya akan dapat mencapai tujuan sebagaimana
yang telah
|
ditentukan melalui fungsi dari bekerjanya proses dan
kekuatan-kekuatan
|
dalam masyarakat, yaitu sosial, politik, dan
kebudayaan. Dengan
|
demikian, maka hukum akan menjadi wadah bagi
penyaluran proses-
|
proses dalam masyarakat, yang secara teoritis fungsi
demikian itu dapat
|
dilaksanakannya, baik dengan cara memberikan jalan
agar proses-proses
|
berjalan dengan tertib dan teratur, maupun untuk
mengalurkannya sesuai
|
dengan tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan.
|
48
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
|
Sebagaimana kejahatan pada umumnya, korupsi dapat
terjadi kapan
|
saja dan dimana saja, dilak ukan baik oleh k alangan
atas (elit) di pusat dan
|
daerah, maupun oleh kalangan bawah (pegawai rendahan),
seperti :
|
dalam pembuatan KTP, SIM dan berbagai macam perizinan.
Korupsi
|
menggoroti kehidupan masyarakat terutama rakyat kecil
yang
|
menanggung beban ekonomi biaya tinggi, dan
melambungnya harga
|
barang-barang kebutuhan pokok ditengah sulitnya
kehidupan.
|
Penanggulangan ter hadap kejahatan (termasuk korupsi)
pada
|
hakikatnya adalah suatu policy atau kebijakan yang
dipilih oleh penguasa
|
(pemerintah) dalam kerangka kebijak an atau politik
kriminal . (Sudarto)
|
(1981 : 161) mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai
kebijakan kriminal,
|
yaitu :
|
a. Dalam arti
sempit, ialah keseluruhan as as dan metode yang menjadi
|
dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang
berupa pidana ;
|
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari
aparatur penegak
|
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan
dan polisi ;
|
c. Dalam arti
paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan
|
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang
bertujuan
|
untuk menegakkan norma-norma sosial dalam masyarakat.
|
Politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional
dari
|
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, dan bagian
integral dari
|
upaya perlindungan masyarakat
|
(social defence
|
), serta upaya mencapai
|
kesejahteraan masyarakat (
|
social welfare
|
). Oleh karena itu tujuan akhir
|
dan utamanya adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai
|
kesejahteraan masyarakat.
|
Agar penanggulangan korupsi efektif dan efisien, maka
perlu
|
diketahui terlebih dahulu faktor-faktor penyebabnya.
Menurut Syed
|
Hussein Alatas (1986:46), faktor-faktor penyebab
korupsi adalah :
|
a. Ketiadaan
atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci
|
yang mampu memberikan ilham dan tingkah laku yang
menjinakkan
|
korupsi.
|
b. Kelemahan
pengajaran agama dan etika.
|
c.
Kolonialisme, suatu pemerintah asing tidaklah menggugah kesetiaan
|
dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung
korupsi.
|
d. Kurangnya pendidikan.
|
e. Kemiskinan.
|
f. Tiadanya
tindakan hukum yang keras.
|
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku
anti korupsi.
|
h. Struktur pemerintahan.
|
i. Perubahan
radikal, tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan
|
radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit
transisional.
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
49
|
j. Keadaan
masyarakat, korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan
|
cerminan keadaan masyarakat keseluruhan.
|
Dari berbagai faktor penyebab korupsi di atas, sangat
erat kaitannya
|
dengan aspek budaya (hukum), maka perlu suatu gerakan
|
membudayakan nilai-nilai dan sikap-sikap anti korupsi
di tengah
|
masyarakat Indonesia, sehingga akan menjadi motor
penggerak bagi
|
bekerjanya hukum. Seperti dikemukakan Satjipto
Kahardjo (1980:36)
|
dengan mengutip Friedman ; bahwa nilai-nilai dan
sikap-sikap ini
|
dianggap semacam bensin yang akan menggerakkan motor
tatanan
|
hukum yang ada, bahwa tanpa motor penggerak ini maka
pranata hukum
|
itu akan menjadi lembaga yang mati belaka. Unsur
nilai-nilai dan sikap-
|
sikap inilah yang kemudian dikenal dengan nama kultur
hukum. Dalam hal
|
nilai-nilai hukum dan sikap-sikap anti korupsi
dimaksud adalah agar setiap
|
warga masyarakat tidak mentolerir segala bentuk
pengimpangan yang
|
cenderung korup dan merugikan pihak lain, seperti :
tidak mau menerima
|
dan memberi suap sebagai jalan pintas dalam mengurus
suatu keperluan,
|
melaporkan kepada aparat penegak hukum jika mengetahui
adanya
|
praktek suap atau korupsi dalam segala bentuk, seperti
dirumuskan dalam
|
Undang-undang Nom or 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20
|
tahun 2001, terdapat 30 (tiga puluh) bentuk/jenis
tindak pidana korupsi
|
yang pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut
(Ahmad Ubbe,
|
2007) :
|
a. Kerugian uang negara ;
|
b. Suap-menyuap ;
|
c. Penggelapan dalam jabatan ;
|
d. Pemerasan ;
|
e. Perbuatan curang ;
|
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
|
g. Gratifikasi.
|
Bukan rahasia lagi bahwa pengurusan hampir semua
keperluan
|
hidup dalam masyarakat, seperti masuk sekolah, mencari
pekerjaan,
|
berbagai macam perizinan, pengasahan hak dan
sebagainya dapat diatur,
|
dalam arti bagi mereka yang mau dam mampu memberi suap
urusannya
|
akan lancar dan sesuai dengan keinginan. Sedangkan
bagi mereka yang
|
tidak mau dan tidak mampu memberi suap urusannya akan
tersendat atau
|
resiko ditolak meski telah melengkapi semua
persyaratan yang diperlukan
|
untuk itu. Fakta atau kenyataan ini telah lama
berlangsung namun sampai
|
saat ini belum tersentuh oleh hukum. Seakan-akan hal
semacam ini sudah
|
menjadi hal yang biasa dalam masyarakat. Dengan kata
lain sudah
|
menjadi budaya. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan
berlarut jika tidak
|
menginginkan bangsa Indonesia semakin terpuruk dan
perlu tindakan
|
reaktif yang tegas dan berkelanjutan (
|
counter act
|
) dari pemerintah dan
|
semua pihak yang masih memiliki integritas dan moral
yang tinggi.
|
50
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
|
Muladi (tanpa tahun:3), mengatakan satu hal yang perlu
diperhatikan
|
adalah bahwa tidak boleh mengharapkan terlalu besar
tentang peranan
|
sistem peradilan pidana sebagai pengendali kejahatan,
sebab sistem ini
|
hanya merupakan salah satu sarana saja dalam politik
kriminal (yang
|
bersifat penal). Sistem peradilan pidana hanya
berfungsi terhadap
|
recorded crimes
|
yang menjadi masukannya. Fungsinya pun kadang-
|
kadang tidak dapat bersifat maksimal (
|
total anforcement
|
) sebab demi
|
menjaga keseimbangan antara ketertiban umum (
|
public order)
|
dan hak-
|
hak individual (
|
individual right
|
) maka batas-batas penegakan hukum
|
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang ketat.
|
Keterbatasan hukum pidana dangan sistem peradilan
pidananya
|
mengakibatkan tidak semua pelaku kejahatan korupsi
dapat diajukan ke
|
pengadilan, bahkan tidak jarang meski sampai ke
pengadilan hasilnya
|
adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, karena
|
syarat-syarat pembuktian yang harus dipenuhi menur ut
Undang-Undang
|
tidak mencukupi atau kurang memadainya alat bukti yang
ada.
|
Hal itu menunjukkan betapa pentingnya sarana
penanggulangan
|
lainnya yang diharapkan dapat berfungsi dengan baik,
yaitu sarana non
|
penal atau pencegah tanpa menggunakan pidana (
|
prevention without
|
punishment
|
). Kenyataan tersebut akan lebih memprihatinkan
apabila di
|
tubuh aparat yang seharusnya menegakkan hukum ternyata
dapat “diatur”
|
oleh pihak koruptor dengan diimingi imbalan (suap)
untuk mementahkan
|
perkaranya yang dikenal dengan istilah mafia hukum,
makelar kasus dan
|
sebagainya.
|
2. KPK Sebagai Ujung Tombak Membudayakan Gerakan Anti
|
Korupsi di Masyarakat
|
Beberapa waktu yang lalu masyarakat dikejutkan dengan
|
mencuatnya skandal Bank Century dan kasus
Bibit-Chandra yang menyita
|
perhatian hampir seluruh lapis an masyarakat. Betapa
tidak, belum lagi
|
tuntas kasus yang menimpa mantan ketua KPK Antasari
Azhar yang
|
kontroversi itu, masyarakat bertanya-tanya apa yang
sebenarnya terjadi.
|
Kasus-kasus tersebut seakan suatu bukti bahwa apa yang
menjadi
|
kendala bagi KPK dalam menjalankan tugasnya
memberantas korupsi,
|
dan seakan kesemuanya itu merupak an rekayasa atau
perlawanan
|
(counter) dari pihak-pihak yang tidak senang dengan
keberhasilan KPK,
|
dengan tujuan melemahkan KPK. Diluar dugaan sebagai
reaksi
|
masyarakat telah melahirkan gerakan moral yang dahsyat
dan belum
|
pernah terjadi selama ini, dimana masyarakat luas m
emberikan dukungan
|
kepada KPK untuk tetap melaksanakan tugasnya dalam
memberantas
|
korupsi. Mengingat korupsi telah menjalar pada semua
bidang kehidupan
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
51
|
dan telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (
|
exstra ordinary crime
|
),
|
sehingga untuk menanggulangi korupsi diperlukan
cara-cara yang luar
|
biasa pula. Sehubungan dengan hal itu Chandra M.
Chamsah salah satu
|
pimpinan KPK mengatakan, bahwa saat ini gerakan anti
korupsi berubah
|
menjadi gerakan “kultural”, gerakan ini harus terus
mendapat dukungan
|
(Jambi Ekspres, 9 Desember 2009).
|
Ini adalah moment yang tepat bagi KPK dan seluruh
lapisan
|
masyarakat meningkatkan gerakan anti korupsi dengan
membudayakan
|
nilai-nilai dan sikap-sikap anti korupsi pada seluruh
lapisan masyarakat
|
melalui pendidikan baik formal maupun non formal
secara
|
berkesinambungan, dengan menanamkan pemahaman bahwa
korupsi
|
dalam segala bentuknya adalah perbuatan yang merugikan
masyarakat
|
dan tercela secara moral, etika, dan agama. Meskipun
demikian
|
penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana) harus
terus
|
ditingkatkan dengan melakukan perbaikan-perbaikan
dalam
|
pelaksanaannya. Karena walaupun penegakan hukum pidana
dalam
|
rangka penanggulangan kejahatan (termasuk korupsi)
bukan merupakan
|
satu-satunya tumpuan harapan, namun keberhasilannya
sangat
|
diharapkan karena pada bidang penegakan hukum inilah
dipertaruhkan
|
makna dari negara berdasarkan hukum (Muladi, tanpa
tahun:7).
|
Sudah terlalu banyak kasus korups i berlalu tanpa
proses hukum
|
dimasa lalu, hal ini tentunya tidak boleh terulang
lagi. Kini masanya
|
masyarakat bangkit melawan segala bentuk korupsi pada
semua
|
tingkatan bersama KPK, dan untuk itu KPK sebagai
motivator masyarakat
|
menjadi ujung tombak dalam penanggulangan korupsi
harus ada pada
|
setiap Propinsi baik Kabupaten/Kota diseluruh wilayah
Indonesia dan
|
dilengkapi dengan sarana serta prasarana yang memadai.
|
Hal itu sesuai dengan tugas dan wewenang KPK
berdasarkan
|
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang antara lain
menyatakan :
|
Pasal 6
|
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas :
|
a. Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan
|
pemberantasan tindak pidana kor upsi ;
|
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan
|
pemberantasan tindak pidana korupsi ;
|
c. Melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
|
pidana korupsi ;
|
d. Melakukan tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi, dan
|
e. Melakukan
motivator terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
|
Pasal 13 :
|
52
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
|
Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana
dimaksud
|
dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang
|
melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai
berikut :
|
a. Melakukan
pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
|
kekayaan penyelenggara negara ;
|
b. Menerima
laporan dan menetapkan status gratifikasi ;
|
c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi
pada setiap
|
jenjang pendidikan ;
|
d. Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi
|
pemberantasan tindak pidana kor upsi ;
|
e. Melakukan
kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum ;
|
f. Melakukan
kerjasama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan
|
tindak pidana korupsi.
|
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf d, dan Pasal 13
huruf c, d, dan
|
e terdsebut di atas, maka jelas bahwa KPK bertugas dan
memiliki
|
wewenang untuk menyelenggar akan gerakan anti korupsi
pada semua
|
jenjang pendidikan, dan melakukan kampanye anti
korupsi kepada
|
masyarakat umum dalam rangka melaksanakan tugas
pencegahan tindak
|
pidana korupsi, disamping tugas represif atau
penegakan hukum pidana.
|
Dengan demikian diaharapk an suatu saat nanti
timbulnya budaya malu
|
(bukan takut) melakukan korupsi dan budaya anti
terhadap perbuatan
|
korupsi dalam masyarakat Indonesia.
|
Gerakan anti korupsi tersebut harus didukung oleh
semua lapisan
|
masyarakat seperti mahasiswa, LSM, dan pers baik media
cetak maupun
|
elektronik, tokoh-tokoh masyarakat, pemuda, dan
organisasi massa
|
lainnya.
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
|
53
|
III. PENUTUP
|
1. Kesimpulan
|
Dari pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan
|
sebagai berikut :
|
a. Membudayakan
gerakan anti korupsi, adalah upaya yang sungguh-
|
sungguh dan berkelanjutan dari penguasa (pemerintah)
|
menanamkan pemahaman bahwa korupsi adalah perbuatan
yang
|
tercela berdasarkan agama, sosial dan hukum.
|
b. Gerakan anti
korupsi, akan menimbulkan budaya malu melakukan
|
korupsi, dan sikap anti terhadap perbuatan-perbuatan
korupsi
|
dalam masyarakat sehingga akan melaporkan kepada
aparat
|
penegak hukum, dan mengawasi prosesnya.
|
c. KPK sebagai
ujung tombak dan koordinator gerakan anti korupsi di
|
Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002
|
khususnya Pasal 6 huruf d dan Pasal 13 huruf c, d dan
e.
|
2. Saran
|
Agar gerakan anti korupsi dapat berjalan dengan
efektif, maka perlu
|
dibentuk lembaga KPK pada s etiap Propinsi baik di
Kabupaten dan Kota
|
diseluruh Indonesia lengkap dengan sarana dan
prasarana yang
|
diperlukan.
|
DAFTAR PUSTAKA
|
Alatas,
|
Syed Hussein, Sosiologi Korupsi
|
, LP3S, Jakarta, 1986.
|
Friedman,
|
Lawrence.M, The Legal System, A Social Perspective,
Rusel
|
Sage Foundation,
|
Newyork, 1975.
|
Masdiana Erlangga,
|
Korupsi Dalam Wajah Politik Kekuasaan
|
, Kompas, 26
|
Agustus 1999.
|
Muladi,
|
Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
|
Universitas Diponogoro,
|
tanpa tahun.
|
Nawawi,
|
Barda Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
|
, Citra
|
Aditya Bakti, Bandung, 1996.
|
54
|
Membudayakan, Gerakan, Anti Korupsi.
|
Neltje, Jeane Saly,
|
Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum
|
Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Legislasi Indonesia
|
Vol. 4 No. 1,
|
Maret 2007, Ditjen Peraturan Perundang-Undangan
DEPKUMHAM.
|
Rahardjo, Satjipto,
|
Hukum dan Perubahan Sosial
|
, Alumni, Bandung, 1983.
|
Sudarto,
|
Hukum dan Hukum Pidana
|
, Alumni, Bandung, 1981.
|
Ubbe,
|
Ahmad, Implikasi Putusan Bebas Dalam Perspektif Hak
Asasi
|
Manusia, Jurnal Legislasi Indonesia
|
Vol. 4 No. 1, Maret 2007,
|
Ditjen Peraturan Perundang-Undangan DEPKUMHAM.
|
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemebrantasan
|
Korupsi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar