Sabtu, 24 November 2012

melawan korupsi


MELAWAN KORUPSI
Indonesia darurat korupsi. Itu tema yang paling pantas disampaikan melihat bagaimana kronisnya para “pengurus” negara “mengurusi” negara. Setiap lini, setiap kesempatan, setiap waktu merupakan teknik dan cara bagaimana uang rakyat “dirampok”.
Dua peristiwa monumental (kemenangan Jokowi-Ahok dan pernyataan Dahlan Iskan) memberikan bagaimana cerita “merampok” didesain sungguh-sungguh canggih, sistematis, terstruktur, terbatas, rahasia, elite, tertutup dan sangat-sangat diketahui segelintir tertentu.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika “negara” mendesain agar uang keluar dari negara namun “mengumpankan” Bank Century. Belum tuntas pengusutannya, kita dibuat terbelangak, ketika proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games kemudian menyeret petinggi partai Demokrat. Kemudian kita juga diajarkan bagaimana mereka sungguh-sungguh canggih menggunakan istilah “apel malang, “apel Washington”. Kita kemudian dikejutkan tuduhan cukup serius. Merampok uang proyek Kitab Suci. Eh, belum selesai kita merenung, kemenangan Jokowi kemudian memberikan pelajaran berharga. Biaya pelantikan memakan anggaran 1,5 milyar. Biaya pembuatan naskah pidato Gubernur Jakarta 700 juta.
Belum lagi kita melihat bagaimana tingkah pola dan cara-cara “koboy” kepolisian yang terus menerus bersitegang dengan KPK, yang menggunakan kekuasaan “atas nama KUHAP” menangkap penyidik KPK yang mau membongkar borok di kepolisian (korlantas). Tidak puas bersitegang untuk mempersoalkan “kewenangan” KPK, kemudian menggugat KPK di Pengadilan “walaupun sudah resmi diperintahkan oleh Presiden untuk dilimpahkan ke KPK”.
Gaya “Koboy” juga dipertontonkan oleh anggota Parlemen. Dengan semangat berapi-api, mereka dengan berkedok ingin “memperkuat” KPK, kemudian mengotak-atik kewenangan KPK. Kewenangan “penyadapan” dan kewenangan untuk menuntut didesak agar dikurangi (kalo perlu dihilangkan). Belum lagi mereka “mempersoalkan” lembaga KPK sebagai lembaga ad hock yang diminta untuk memperkuat lembaga-lembaga hukum seperti Kejaksaan dan kepolisian. Selain itu juga menawarkan semacam lembaga pengawas. Belum lagi mereka “memperhambat” tugas-tugas KPK degnan mengulur-ulur pembangunan gedung KPK.
Sementara para “koruptor” sering kali mempersoalkan KPK melalui gugatan judicial rewiew dan gugatan praperadilan. Gugatan di MK merupakan salah satu pintu untuk menghapus kewenangan KPK didalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Bersatunya anggota parlemen, kepolisian dan para koruptor kemudian mencari kesalahan para komisioner pimpinan KPK. Diseretnya Antasari Azhar dan kriminalisasi Bibit Candra merupakan “skenario” canggih yang sulit diterima oleh akal.
Sudah banyak rumusan dan rekomendasi dari “ahli” untuk menjawab berbagai persoalan korupsi dan bagaimana cara mengatasinya. Semuanya sudah menjadi bahan dari berbagai studi. Begitu juga sudah banyak berbagai peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk “membentengi' agar duit masuk dan duit keluar dapat dipertanggungjawabkan. Duit yang digunakan harus transparan.
Begitu juga sudah banyak lembaga-lembaga didirikan untuk “melawan” korupsi'. Yang paling teranyar adalah lembaga KPK yang terus digoyang, diganggu agar tidak berkonsentrasi dan lebih tersita mengurusi para kelakuan koruptor dibandingkan tugas pokoknya memberantas korupsi di Indonesia.
Semuanya menjawab, bagaimana pola dan strategi untuk “merampok” sudah sangat kronis dan dibutuhkan “kesadaran nasional” untuk melawan korupsi.
Dengan mudah kita bisa menghitung, bagaimana pelaku korupsi yang sudah menjalar semua lini. Entah itu anggota DPR, Kepala Daerah, Kepala Dinas, Mantan menteri, politisi (termasuk yang berasal dari partai-partai agama), komisaris, perbankan, pengacara, hakim, polisi, jaksa.
Belum lagi di daerah. Dimulai dari Kepala Desa yang “mencuri duit beras”, kontraktor yang main proyek, ulama yang terlibat anggaran DPRD, PNS yang mau pensiunan tidak tertib mengawasi proyek. Pokoknya beraneka ragam profesi.
Hampir setiap kehidupan kita disuguhi berita korupsi. Setiap hari “kemangkelan” urusan mesti berhadapan berbagai jalur birokrasi meja yang panjang.
Akibat korupsi sudah dirasakan. Begawan Ekonomi Sumitro sudah melansir, uang APBN sudah “ditilep'. Mulai dari masuknya uang hingga uang keluar. Masuknya uang dikorupsi dengan cara “main di Pajak, main di anggaran parlemen. Sedangkan dalam proyek uang keluar dilakukan dengan cara “mark up” proyek, “proyek tidak dikerjakan sesuai standar”, proyek dikerjakan oleh kroni, proyek tidak dapat digunakan sesuai dengan kontrak.
MENGAPA MISKIN ?
Indonesia juga memiliki keanekaragaman berupa flora dan fauna, lebih banyak jumlah speciesnya dibandingkan Africa. Sepuluh persen (10%) dan seluruh spesies tumbuhan berbunga ada di Indonesia (+1- 27.500 spesies ada di Indonesia), 12% jenis mamalia di dunia, 16% jenis reptilia dan amphibia di dunia (+1- 1.539 spesies), 25% jenis ikan di dunia dan 17% jenis burung di dunia. Diantara spesies tersebut terdapat 430 spesies burung dan 200 mamalia yang tidak terdapat di tempat lain dan hanya ada di Indonesia misalnya orangutan, biawak komodo, hariniau sumatera, badak jawa, badak sumatera dan beberapa jenis burung (birds of paradise) (BAPPENAS. Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993 & World Conservation Monitorin Cominittee, 1994)

Perkembangan produksi Batubara selama 13 tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, dengan kenaikan produksi rata-rata 15,68% pertahun. Pada tahun 1992, produksi batubara sudah mencapai 22,951 juta ton dan selanjutnya pada tahun 2005 produksi batubara nasional telah mencapai 151,594 juta ton. Perusahaan pemegang PKP2B merupakan produsen batubara terbesar, yaitu sekitar 87,79 % dan jumlah produksi batubara Indonesia, diikuti oleh pemegang KP sebesar 6,52 % dan BUMN sebesar 5,68 %.
Perkembangan produksi batubara nasional tersebut tentunya tidak terlepas dan permintaan dalam negeri (domestik) dan luar negeri (ekspor) yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagian besar produksi tersebut untuk memenuhi permintaan luar negeri, yaitu rata-rata 72,11%, dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri. (www.teira.esdm.go.id)
Selain itu Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) utama di dunia, dengan areal pada tahun 2006 seluas 6,075 juta hektar dan produksi sebanyak 16,08 juta ton. Dan produksi tersebut, 12,1 juta ton (75,25%) diantaranya diekspor dan konsumsi untuk industri minyak goreng dan industri negeri sebanyak 3,8 juta ton (24,75%)28 (Dirattanhun, Potensi Kelapa sawit sebagai Bahan baku Diesel, ( www.ditjenbun.deptan.go.id, 13 Juli 2008

Sekitar 60% dan produk CPU Indonesia diekspor ke luar negeri, sementara sisanya diserap untuk konsumsi di dalam negeri. Untuk penggunaan lokal, industri ininyak goreng merupakan penyerap CPO dominan, mencapai 29,6% dan total produksi, sedang sisanya dikonsumsi oleh industri biokimia, sabun dan margarine atau shortening. Saat ini terdapat sekitar 215 pabrik CPO di Indonesia (lebih sedikit dibanding Malaysia yang memiliki 374 pabrik)
Indonesia berambisi menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia (Marcus Coichester click, TANAH YANG DIJANJIKAN, Ininyak Sawit ddan Pembebasan tanah di Indonesia : implikasi terhadap masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat, diterbitkan Forest People Programme and Perkumpulan Sawit Watch, Bogor, 2006, Hal 19. Lihat juga A. Hakim Basyar,
Walaupun Indonesia mempunyai berbagai sumber daya alam yang melimipah ruah, namun tingkat kemiskinan justru terjadi di daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Di Propinsii Kalimantan Timur, sebagai daerah kaya di Asia Tenggara dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita 3.319 US$ pada tahun 1985, akan tetapi dilihat dan tingkat kesejahteraan yang benar-benar dinikmati oleh penduduk, yakni dan pengeluaran konsumsinya, hanya mencapai 293 US$.
Dengan demikian besarnya konsumsi per kapita hanya 8,82% dan jumlah PDRB per kapita selebihya, kemakmuran tersebut tidak dinikmati sebagai bagian dan tingkat kesejahteraan.
Propinsi Riau yang berpenduduk 4,3 juta jiwa pada tahun 1997/1998 menyumbangkan pendapatan ke kas negara sebesar 59,2 trilyun. Uang sebesar ini berasal dan pertambangan, kehutanan, perindustrian dan pendapatan lainya. Namun uang yang kembali ke Riau dalam bentuk anggaran untuk Daerah Propinsi sebesar Rp 163,87 inilyar dan daerah Tingkat Kabupaten Rp 485,58 inilyan. Sehingga jumlah dan jakarta untuk Riau mencapai 1.013 milyar. Dibandingkan dengan dana yang disedot ke Jakarta sebesar Rp 59,2 trilyun maka dana yang diterima Riau hanya 1,17 % dan dana yang disumbangkan.
Artinya tidak ada korelasi positif antara tingginya PDRB per kapita dengan kemakmuran rakyat (A. Hakim Basyar, PERKEBUNAN BESAR KELAPA SAWIT, Blunder ketiga kebijakan sektor kehutanan, Penerbit E-Law (Environmental Law Alliance Worldwide) dan CePAS (Center for Environment and Natural Resources Policy Analysis), Jakarta, 1999, Hal 7-8
Belum lagi dari galian tambang di Freeport. Dalam berbagai sumber disebutkan, PT. Freeport telah mengasilkan 7,3 JUTA ton tembaga dan 724,7 JUTA ton emas. Maka membuat Freeport McMoRan sangat menguntungkan. Total aset Freeport McMoran per Desember 2009 sebesar US$ 25 Milyar (atau Rp 225 Triliun, hampir 1/4 APBN kita. Dengan hasil ini, Freeport merupakan “primadona bagi Freeport McMoRan.
Bandingkan dengan Pajak PT Freeport Indonesia yang “hanya” mencapai USD 1,922 miliar (Baca Rp 17 triliun lebih), setiap tahunnya disetor ke Pemerintah Pusat. Dari Rp 17 triliun tersebut, hanya Rp 400 miliar yang kembali ke Provinsi Papua.
Dengan melihat berbagai angka-angka yang telah dipaparkan, memberikan pelajaran kepada kita bagaimana kekayaan alam Indonesia. Zamrud Khatulistiwa. Mutu manikam.
Pepatah bijak mengatakan “negeri aman padi menjadi, airnyo bening ikannyo jinak, rumput mudo kebaunyo gepuk, bumi senang padi menjadi, padi masak rumpit mengupih, timun mengurak bungo tebu, menyintak ruas terung ayun mengayun, cabe bagai bintang timur, keayek titik keno, kedarat durian guguu
Dalam bahasa Jawa dikenal, Gemah ripah, loh jinawi, tata tentram, kerta rahardjo.
Dengan kekayaan sebanyak dan sebesar itu, maka persoalan hak-hak mendasar dari rakyat akan terpenuhi. Pendidikan dan Kesehatan akan tercukupi. Infrastruktur akan mudah dibangun. Jalan-jalan menghubungkan antara desa dengan desa lain akan mudah dibangun.
Namun, Mengapa Indonesia yang terkenal sungguh-sungguh kaya namun penduduknya miskin ?. Ya. Jawabannya korupsi. Korupsi sudah menjadi sistematis sehingga “merampas” hak rakyat untuk menikmati pendidikan, menikmati kesehatan, menikmati infrastruktur, menikmati jalan-jalan yang mulus.
Korupsi telah menjadi penyakit yang sudah menyerang berbagai lini. Ibarat kanker, sudah masuk stadium 4. sudah menyerang sendi-sendi kehidupan. Sudah menyerang tulang punggung dan berbagai saraf motorik yang menggerakkan berbagai fungsi tubuh.
Korupsi harus dilawan. Korupsi dimulai dengan menanamkan sikap kejujuran, hidup sederhana dan tidak mengambil hak orang lain. Hidup dengan haknya.
Korupsi harus dimulai dari diri kita. Jujur untuk mengikuti pedoman hidup, jujur mengakui kesalahan, memperbaiki keadaan. Jujur untuk memperbaiki keadaan.
Korupsi harus dimulai dari gaya hidup. Hidup sederhana, hidup yang menjadi haknya. Hidup dari hasi keringat sendiri. Tidak memakan hak orang lain. Tidak hidup dari kongkalikong. Tipu-tipu.
Apakah bisa ? Ya. Kita mulai dari diri kita. 

pelajaran istimewa dari JOKOWI



PELAJARAN DARI JOKOWI


Berita menggembirakan dikabarkan dari Jakarta. Belum lama hitungan hari Jokowi dan Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta kemudian “mewujudkan” janjinya untuk memenuhi kartu Sehat dan Kartu Pintar. Kartu Sehat dan kartu Pintar merupakan janji Jokowi yang paling dinanti oleh masyarakat. Masyarakat percaya dengan Jokowi karena telah membuktikannya selama 8 tahun di Solo. Dengan janjinya itulah, kemudian masyarakat memilih dan kemudian membuktikan Jokowi menang dalam Pilkada DKI.

Kartu Sehat sebagai “card” untuk masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan Fasilitas kesehatan sama seperti Fasilitas kesehatan yang dirasakan golongan mampu. Pemerintah DKI kemudian yang memberikan “jaminan” dengan “menyiapkan” dana APBD DKI untuk rujukan Rumah Sakit yang ditunjuk. Pemerintah DKI juga “bekerjasama” dengan berbagai rumah sakit swasta. Beragam fasilitas kesehatan yang disediakan rumah sakit kemudian “memberikan” jaminan kepada golongan kurang mampu untuk menikmati fasilitas tanpa dibebani berbagai biaya-biaya yang tidak perlu, biaya yang mahal maupun biaya-biaya yang ditentukan sepihak rumah sakit tanpa mampu dibayarkan oleh masyarakat.

Sedangkan kartu pintar merupakan “card” untuk anak sekolah yang ingin sekolah di berbagai sekolah di Jakarta. Anak pintar akan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak tanpa dibebani pikiran tidak mampu sekolah dengan “alasan” klise” tidak adanya biaya. Dan Pemerintah DKI “menjamin” agar seluruh biaya yang diperlukan akan “diurusi” oleh Pemerintah DKI

Secara akal sehat, yang disampaikan oleh Jokowi sederhana, murah dilaksanakan dan tepat sasaran. Jokowi kemudian “membuka” mata publik bagaimana program yang langsung menyentuh masyarakat harus menjadi tanggung jawab dari negara.

Dengan dilaksanakannya dua program mendasar yang telah dilaksanakan oleh Jokowi, maka sudah terjawab apa yang telah dipikirkan oleh rakyat selama ini. Negara memang tidak mau mengurus terhadap persoalan yang langsung menyentuh rakyat banyak. Negara tidak mau dan memang tidak mau mengurusi hak-hak yang mendasar. Hak-hak yang mendasar merupakan perjalanan panjang dan selalu diteriakkan.

Dan Jokowi kemudian menjawab dengan telak. Cukup anggaran mengurusi kesehatan dan pendidikan. Waktu kemudian tidak bisa dibantah. Memang negara tidak mau dan memang tidak mau mengurusi pendidikan dan kesehatan.

century feat kpk

CENTURY DAN KPK


CENTURY DAN KPK


KPK “melaporkan” kemajuan kasus Bank Century. Kemajuan yang disampaikan oleh KPK menjawab keragu-raguan dari publik yang melihat kasus Bank Century masih jalan di tempat.

Tanpa menghilangkan keragu-raguan publik apakah KPK bisa menyelesaikan kasus ini secara cepat, sikap KPK didalam melihat kasus Bank Century memang ditunggu publik. Publik ingin agar kasus KPK dapat diusut tuntas.

Kasus KPK memang menarik perhatian publik, ketika kasus ini mengemuka di permukaan menjadikan kasus ini menyita energi bangsa. Publik kemudian dipertontonkan bagaimana “cara mencuri uang negara”, rapat di tengah malam, membuat produk kebijakan agar uang bisa keluar. Publik kemudian juga “disuguhi” bagaimana Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden ad interm sebagai Presiden, sama sekali tidak mengetahui bagaimana proses pencairan uang untuk pengucuran kredit Bank Century.

Pada saat yang sama, kasus ini kemudian “disidangkan” di DPR. DPR kemudian membentuk tim khusus dan kemudian publik dapat menyaksikan secara “live” bagaimana kesaksian dari Menteri Keuangan, mantan Wakil Presiden, Wakil Presiden dan lain-lainnya.

Publik kemudian menjadi sadar, strategi untuk “menjarah” uang negara benar-benar disalahgunakan. Publik kemudian menyaksikan pada saat sidang di Pleno, DPR kemudian menyetujui dan kemudian menyerahkan hasil pemeriksaan di DPR ke penegak hukum. Bahkan kemudian DPR membentuk tim pengawas yang khusus memantau kasus Bank Century.

Sekarang timbul pertanyaan. Tanpa memasuki wilayah hukum yang sudah banyak ditulis para pakar hukum, ada “kegeraman” publik terhadap sikap KPK yang masih belum menyampaikan proses progres report. Menjadi pertanyaan yang cukup serius apakah, KPK memang tidak mampu membongkar kasus ini hingga ke pengadilan ?

Apabila dilihat dari berbagai kewenangan KPK dilihat dalam rumusan UU No. 30 Tahun 2002, maka pertanyaan itu dengan mudah dijawab. Berbagai kewenangan telah diatur didalam UU No. 30 Tahun 2002 yang secara tegas dikatakan lembaga “superbody”.

Sebagai lembaga “superbody” maka tidak ada alasan hukum apapun yang dapat mengintervensi, mempengaruhi ataupun menekan apalagi “mengatur” KPK. KPK mempunyai kewenangan yang luar biasa. Lantas mengapa seperti yang dikhawatirkan publik, KPK begitu lambat, sangat berhitung, hati-hati bahkan cenderung “jalan tempat” ?

Pertanyaan itulah yang kemudian mengganggu sehingga, apakah KPK belum juga menyeret pelaku Bank Century ke pengadilan berkaitan dengan “hitung-hitungan politik ?”.    

Jumat, 23 November 2012

penanggulangan narkotika

Makalah Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika dalam Perspektif Hukum Pidana



BAB 1
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Pengaturan narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), bertujuan untuk menjamin ketersedian guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan narkotika, serta pemberantasan peredaran gelap narkotika.Penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah sampai ketingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta dilapangan menunjukan bahwa 50% penghuni LAPAS (lembaga pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba atau narkotika. Berita kriminal di media masa, baik media cetak maupun elektronik dipenuhi oleh berita penyalahgunaan narkotika. Korbannya meluas kesemua lapisan masyarakat dari pelajar, mahasiswa, artis, ibu rumah tangga, pedagang , supir angkot, anak jalanan, pejabat dan lain sebagainya. Narkoba dengan mudahnya dapat diracik sendiri yang sulit didiktesi. Pabrik narkoba secara ilegalpun sudah didapati di Indonesia.Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegakan hukum dan telah banyak mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran perdagangan narkoba atau narkotika, tapi dalam kenyataan justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran perdagangan narkotika  tersebut.
 Tindak pidana narkoba atau narkotika berdasarkan undang-undang nomor 35 tahun 2009 (UU No.35 tahun 2009), memberikan sangsi pidana cukup berat, di samping dapat dikenakan hukuman badan dan juga dikenakan pidana denda, tapi dalam kenyataanya para pelakunya justru semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor penjatuhan sangsi pidana tidak memberikan dampak atau deterrent effect terhadap para pelakunya.Gejala atau fenomena terhadap penyalahgunan narkotika dan upaya penanggulangannya saat ini sedang mencuat dnan menjadi perdebatan para ahli hukum. Penyalahgunaan narkoba atau narkotika sudah mendekati pada suatu tindakan yang sangat membahayakan, tidak hanya menggunakan obat-obatan saja, tetapi sudah meningkat kepada pemakaian jarum suntik yang pada akhirnya akan menularkan HIV.
Perkembangan kejahatan narkotika  pada saat ini telah menakutkan kehidupan masyarakat. Dibeberapa negara, termasuk indonesia,telah berupaya untuk meningkatkan program pencegahan dari tingkat penyuluhan hukum sampai kepada program pengurangan pasokan narkoba atau narkotika.

1.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
  1. Apa pengertian narkotika serta jenis-jenis Narkotika?
  2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang- Undang Narkotika (UU No. 35/2009 ) dalam penanggulangan tindak pidana narkotika ?
  3. Siapa saja yang dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?
  4. Bagaimana sangsi hukum pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika?



BAB 2
PEMBAHASASAN
  1. Pengertian Narkotika dan Jenis-Jenis Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Yang dimakud narkotika dalam UU No. 35/2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti  morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika.
Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 diatas, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkoba atau bukan setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 :
  1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
  2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
  3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
  1. Sanksi-Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Narkotika (berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika)
Mengingat betapa besar bahaya penyalahgunaan Narkotika ini, maka perlu diingat beberapa dasar hukum yang diterapkan menghadapi pelaku tindak pidana narkotika berikut ini:
  1. Undang-undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
  2. Undang-undang RI No. 7 tahun 1997 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Illicit Traffic in Naarcotic Drug and Pshychotriphic Suybstances 19 88 ( Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap narkotika dan Psikotrapika, 1988)
  3. Undang-undang  RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pengganti UU RI No. 22 tahun 1997.
Untuk pelaku penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan Undang-undang No. 35 tahun 2009  tentang Narkotika, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
  1. Sebagai pengguna
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 116 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009  tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun.
  1. Sebagai pengedar
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 81 dan 82 Undang-undang No. 35 tahun 2009  tentang narkotika, dengan ancaman hukuman paling lama 15 + denda.
  1. Sebagai produsen
Dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 113 Undang-undang No. 35 tahun 2009, dengan ancaman hukuman paling lama 15 tahun/ seumur hidup/ mati + denda.Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama – sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika. Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan
BNN kabupaten/kota.
Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik
bilateral, regional, maupun internasional.
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Namun demikian, dalam tataran implementasi, sanksi yang dikenakan tidak sampai pada kategori maksimal. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, kasus yang diproses memang ringan, sehingga hakim memutuskan dengan sanksi yang ringan pula. Kedua, tuntutan yang diajukan relatif ringan, atau bahkan pihak hakim sendiri yang tidak memiliki ketegasan sikap. Sehingga berpengaruh terhadap putusan yang dikeluarkan
  1. Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Narkotika
Berbicara mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni menggunakan penal atau sanksi pidana, dan menggunakan sarana non penal yaitu penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana (penal).
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni:
a)      takut berbuat dosa;
b)      takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif;
c)      takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.
Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Dengan demikian, diharapkan dengan dirumuskanya undang-undang tersebut dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta menjadi acuan dan pedoman kepada pengadilan dan para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang menerapkan undang-undang, khususnya hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba meneliti tentang kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Psikotropika dan Undang-Undang Narkotika serta implementasinya dalam penangulangan tindak pidana narkotika dan psikotropika
penegakan hukum salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat menghambat berjalannya proses penegakan hukum itu sendiri. Adapun faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
  1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam hal ini dibatasi pada undangundang aja;
  2.  Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk maupun yang menerapkan hukum;
  3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
  4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
  5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan, hal ini disebabkan esensi dari penegakan hukum itu sendiri serta sebagai tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum.



PENUTUP
  1. Kesimpulan
Berdasarkan UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 1.Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan
Dalam UU No. 35/2009 jenis-jenis narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti  morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial
  1. SARAN
Penanggulangan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan NARKOTIKA merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan hanya berada pada pundak kepolisian ataupun pemerintah saja. Namun, seluruh komponen masyarakat diharapkan ikut perperan dalam upaya penanggulangan tersebut. Setidaknya, itulah yang telah diamanatkan dalam pelbagai perundang-undangan negara, termasuk UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika
pandangan Agama narkoba adalah barang yang merusak akal pikiran, ingatan, hati, jiwa, mental dan kesehatan fisik seperti halnya khomar. Oleh karena itu maka Narkoba juga termasuk dalam kategori yang diharamkan Allah SWT.





DAFTAR PUSTAKA
Mardani.2007.Penyalahgunaan Narkoba. Jakarta:Rajawali Pers.
Sunarso, siswantoro.2004.Penegakan Hukum Psikotropika. Jakarta:Rajawali Pers.
Makarao, taufik, et.al.2003 Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sunarso, Siswantoro. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali. H
[1] Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang  narkotika pasal 1
[2] Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang  narkotika
[4] Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 142.D
[5] Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: CV. Rajawali. Hal. 5.

KEBiJAKAN HUKUM PIDANA

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN INFORMASI DATA DI DUNIA MAYA




PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Informasi menjadi salah satu kebutuhan radikal yang harus dipenuhi setiap harinya. Media cetak yang dulunya menjadi sumber terbesar mengalirnya informasi kini cenderung ditinggalkan. Hanya duduk di depan sebuah komputer sudah bisa menjelajahi setiap sudut dunia. Perkembangan teknologi informasi sudah membuat dunia seakan hanya selebar sebuah layar komputer. Kemajuan ilmu pengetahuan menciptakan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan pola hidup manusia. Setiap produk dari teknologi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sebagai produsen sekaligus konsumen informasi.
A.    Latar Belakang
Namun kemudahan ini tentu tidak bisa dihindarkan dari bahaya laten yang akan selalu mengikuti setiap manfaat. Mudah dan cepatnya didapatkan sebuah informasi dalam hitungan detik menuntut juga konsekuensi mudah dan cepatnya dilakukan kejahatan informasi di dunia maya. Faktanya saat ini kemajuan teknologi berbanding lurus dengan meningkatnya kriminal. Salah satu yang menjadi langganan terjadinya tindak pidana adalah penggunaan komputer dalam penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
“Salah satu kemajuan terknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah internet”[1]. Jaringan komputer-komputer yang saling terhubung membuat hilangnya batas-batas wilayah. Dunia maya menginternasionalisasi dunia nyata. Dunia cyber yang sering disebut dunia maya menjadi titik awal akselerasi distribusi informasi dan membuat dunia internasional menjadi borderless (tanpas batas). “Teknologi informatika saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban dunia, sekaligus menjadi sarana efektif melawan hukum”[2]. Maka untuk menghadapi sifat melawan hukum yang terbawa dalam perkembangan informasi data di dunia maya. Diperlukan sebuah perlawanan dari hukum positif yang ada. “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali  berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya” hal ini adalah asas legalitas yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana merupakan salah satu instrumen dalam menghadapi perbuatan melawan hukum. Maka perlu dikaji lebih mendalam secara teoritik bagaimana kebijakan hukum pidana yang dalam faktanya sering kalah satu langkah dengan tindak pidana. Dalam hal ini terhadap kejahatan penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisam ini adalah :
  1. Bagaimana perkembangan penyalahgunaan informasi data di dunia cyber ?
  2. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap kejahatan penyalahgunaan informasi data ?
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian
Untuk mempermudah pemahaman tulisan ini maka perlu dijelaskan secara singkat dan jelas defenisi dari setiap kata terkait judul. Kebijakan (beschiking) adalah suatu produk kewenangan yang sudah berbentuk aturan atau perbuatan dalam mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur. Hukum itu bersifat memaksa dengan adanya sanksi yang nyata dan tegas. Jika ditelaah dari bahasa Arab hukum berarti dapat melakukan paksaan. Hukum (recht) berasal dari bahasa latin yang berarti bimbingan atau tuntutan pemerintahan. Sedangkan hukum (ius) dalam bahasa latin berarti mengatur atau memerintah yang berpangkal pada kewibawaan. Menurut JCT Simorangkir dan Sastroparoto, hukum merupakan peraturan yang memaksa, menentukan tingkah laku dalam masyarakat dibuat badan resmi dan pelanggaran akan diberi tindakan yaitu hukuman.
Menurut Soedarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan pada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat. Adapun unsur-unsur dari pidana adalah sebagai berikut :
  1. Pengenaan penderitaan / nestapa / akibat yang tidak menyenangkan
  2. Diberikan secara sengaja oleh orang / badan yang berwenang
  3. Kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Menurut Moeljatno hukum pidana merupakan bagian keseluruhan  hukum yang berlaku di suatu negara yang mengenakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dengan ancaman pidana serta menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar dapat dikenakan pidana juga menentukan cara pengenaan pidana dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar.
Kejahatan sesuai dengan KUHP Pasal 86 “Jika disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti suatu kejahatan tertentu, maka disitu termasuk pembantuan dan percobaan melakukan kejahatan, kecuali jika dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan” Kejahatan / rechtdelicten (mala perse) adalah perbuatan bersifat melawan hukum sejak awalnya meskipun tidak diatur dalam undang-undang (UU). Sedangkan dalam hukum dan teknologi yang disebut kejahatan adalah penyalahgunaan komputer dengan tujuan profit, terorisme (penciptaan virus), dan kejahatan atas globalisasi eknomi.
Penyalahgunaan adalah pemakaian suatu hal tertentu yang tidak sesuai atau menyimpang dari fungsi dan manfaatnya. Informasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah informasi elektronik. Sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE) Pasal 1 angka 1 bahwa :
“Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, poto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”
Data adalah fakta atau informasi yang khususnya telah diberikan melalui komputer. Sedangkan dunia cyber adalah adalah dunia maya yang tercipta dalam hubungan jaringan antar komputer yang sekarang ini lebih kerap dijumpai dalam internet.
Kejahatan dunia maya (cyber crime) merujuk pada tindak pidana yang berhubungan dengan dunia maya (cyber space) dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer. Saat ini adanya yang menyamakan antara tindak cyber crime dengan tindak kejahatan komputer, dan ada yang membedakan diantara keduanya. Cyber crime sering juga disebut dalam istilah lain seperti kejahatan komputer, kejahatan mayantara, kejahatan dibidang teknologi informasi, dan masih banyak lagi. “Kejahatan komputer atau kejahatan di dunia maya adalahupaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer tanpa izin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.”[3]
Pengaturan terbaru mengenai informasi dan transaksi elektronik dalam dunia maya sudah diatur melalui UU lama sebelumnya yang berhubungan dengan teknologi dan informatika selain UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Meski memang masih menyimpan berbagai kekurangan. Maka dibutuhkan langkah konkret dari melalui hukum pidana untuk menekan angka kriminal. Dengan berlakunya UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE tersebut terjadi kriminalisasi terkait penyalahgunaan dan penyimpangan terkait informasi data.




PEMBAHASAN


A.    Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penyalahgunaan Informasi Data di Dunia Maya
Faktanya saat ini perkembangan teknologi sudah mengarahkan berbagai aktifitas manusia dilakukan sebagian besar memakai komputer. Inter-connenction network (internet) menjadi jendela baru yang menyatukan setipa batas dan perbedaan. Tidak bisa dipungkiri kalau internet sudah merubah lifestyle. Terdapat sebuah fenomena bahwa :
Penggunaan komputer dengan telekomunikasi melahirkan suatu fenomena yang mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional (face to face), dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi tiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris manusia (hard reality), dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (soft reality) maka dengan dimensi ketiga dikenal kenyataan maya (virtual reality) yang melahirkan suatu format masyaralat lainnya.[4]
Untuk bertemu dalam urusan apapun meski dipisahkan oleh jarak dan waktu melalui alat komunikasi berupa telepon seluler, teleconfrence, jejaring sosial, web camera, dan alat komuniasi antar komputer lainnya. Maka sudah bisa dilakukan pembicaraan seakan-akan pihak yang sedang berkomunikasi berbicara face to face. Virtual reality yang tidak bisa dijelaskan posisinya dimana karena memang tidak kasat mata. Namun tidak perlu dibuktikan keberadaannya, kontribusi nyatanya dalam teknologi informasi sudah menunjukkan eksistensinya.
Kejahatan itu setua usia manusia karena dibelahan dunia manapun ada manusia disitu terdapat kejahatan. Realitas perkembangan teknologi juga diikuti dengan kejahatan. Mudahnya untuk memberikan informasi secara global. Sebuah data privasi dalam bentuk dokumen, foto, atau video bisa disalahgunakan oleh berbagai pihak ketika sudah di upload ke internet. Bahkan hanya sekedar memakai sebuah komputer dan mengambil datanya tanpa sepengatahuan pemilik komputer tersebut. Hal itu sudah termasuk dalam cyber crime yang bisa saja berujuang dalam pencurian data dan penyalahgunaan informasi data.
Teknologi sangat mempunyai pengaruh besar dalam kejahatan diantaranya:
  • Meniadakan batas negara
Kejahatan dalam penyalahgunaan informasi sudah tidak lagi hanya terjadi dalam ruang lingkup kecil. Pencurian informasi sudah bisa dilakukan dari kutub utara ke kutub selatan. Seorang anak kecil yang sudah mengerti dengan komputer sudah bisa melakukan kejahatan tanpa disadarinya dengan melakukan tindakan tertentu demi mempermudah menyelesaikan sebuah game online. Uang dari sebuah bank di negara tertentu bisa juga tiba-tiba sudah berpindah ke rekening sebuah di negara lain.
  • Meningkatkan modus operandi / cara melakukan kejahatan
Pencurian dengan cara jambret, perampokan dan cara konvensional lainnya. Kini sudah beralih dengan cara lain, pembobolan atm, penipuan melalui undian berhadiah, pembobolan rekening, transaksi fiktif, dan cara-cara lainnya yang memanfaat perkembangan teknologi informasi.
  • Mempercepat informasi
Berita terkait terjadinya sebuah kejahatan di belahan dunia yang sedang menerima sinar matahari sudah langsung bisa diterima dibelahan dunia lain yang sedang menerima sinar bulan. Informasi yang didapatkan dengan cara ilegal mudah saja langsung diperbanyak dan disebarluaskan ke berbagai negara bahkan bisa menjadi konsumsi publik.
  • Melahirkan kejahatan baru
Hampir sama dengan meningkatnya modus operandi, kejahatan lama seolah menjadi kejahatan baru. Pencurian uang dengan cara berhadapan langsung pelaku kejahatan dengan korban. Kini mampu dilakukan dengan mencuri uang dari satu negara ke negara lain. Tanpa harus pergi ke negara tujuan korban tersebut.
  • Memberi dampak pada batas yurisdiksi kedaulatan hukum pidana
Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku pidana dari Benua Amerika berakibat di Benua Asia (kejahatan transnasional). Hukum positif yang berlaku di negara asal korban tidak bisa berfungsi mengikat pelaku. Kalaupun harus dikenakan sebuah akibat hukum. Maka perjanjian ekstradisi harus ada ataupun dengan hukum pidana internasional.
Sesungguhnya segala sesuatu perkembangan apapun yang terjadi di masyarakat Indonesia sesuai tujuan negara maka prospeknya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini demi pengamalan nilai-nilai Pancasila yang dikristalisasi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945). Tujuan negara tersebut tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945 paragraf ke empat.
Untuk mencapai tujuan negara tersebut hukum pidana memiliki peran penting sebagai ultimum remidium terhadap kejahatan dan pelanggaran. Kemajuan dan perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi dan teknologi informasi dapat merubah tatanan organisasi dan hubungan sosial setiap individu di masyarakat. Maka diperlukan langkah konkret untuk mengatasi fenomena tersebut.
Kriminologi adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kriminal. Kriminologi mempunyai peran penting dalam hukum pidana. Hasil kriminologi dapat dimanfaatkan aparat hukum untuk menerapkan hukum pidana agar tercipta keadilan, kepastian, dan manfaat hukum. Hasil dari kriminologi juga menjadi masukan dalam merumuskan hukum pidana yang akan datang (ius constituendum). Berawal dari produk kriminologi maka hukum pidana mampu mengeluarkan kebijakan dalam melakukan kriminalisasi dan penegakan hukum.
Hukum nasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  • Kosentris
Adanya satu tangan yang mengatur/membuat yaitu pengundang-undang
  • Konvergen
Hukum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan
  • Tertulis
Untuk lebih menjamin kepastian hukum.
Sesuai dengan ciri-ciri tersebut maka akan tercipta sistematika langkah yang tepat dalam mengambil sebuah kebijakan. Dalam mengamalkan asas legalitas maka ciri kosentris harus dilakukan. Karena sifat konvergen yang pada faktanya saat ini menerima fenomena perkembangan teknologi informasi. Maka kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan melahirkan peraturan baru atau merubah sebagian atau seluruhnya aturan lama agar dapat beradaptasi dengan keadaan masyarakat setelah mengalami perubahan.
Mendapatkan dengan begitu cepat dan mudah informasi adalah produk dari kemajuan teknologi. Perlu dipahami bahwa
“kemajuan dibidang teknologi akan berjalan bersamaan dengan munculnya perubahan-perubahan didalam masyarakat dapat mengenai nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola perilakuan, organisasi dan susunan lembaga kemasyarakatan. Cicero mengatakan “ubi societies ibi ius“ dimana ada masyarakat disitu ada hukum.”[5]
Dalam masyarakat saat ini terhadap penyalahgunaan informasi di dunia cyber terdapat hukum pidana yang membatasi tingkah laku. Namun sayangnya atas kejahatan tersebut dalam KUHP tidak mengatur dengan jelas pengertian kejahatan meski dirumuskan sebagai strafbaar feit. Berbedanya setiap kapasitas subjek hukum dalam ekonomi, moral, psikologi, dan aspek lainnya. Memberikan cara beradaptasi yang berbeda untuk menghadapi perubahan tanpa harus meninggalkan nilai dan moral yang sudah hidup dan berlaku. Sayangnya tetap ada pihak yang harus beradaptasi dan menyimpang dari koridor hukum. Kembali hukum pidana harus mampu memberikan kebijakan untuk menghadapi perilaku menyimpang tersebut. Hukum dalam hal ini hukum pidana dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjadi lawan utama kejahatan. Fungsi preventif dan represif dari hukum itu harus berlaku secara bersamaan demi mendapatkan penegakan hukum yang lebih baik. Kejahatan dunia maya yang sudah menjadi bahasa sehari-hari disebut cyber crime adalah bentuk baru kejahatan dengan lahirnya virtual reality. Untuk itu bentuk-bentuk perbuatan hukum itu perlu mendapatkan penyesuaian, seperti melakukan harmonisasi terhadap beberapa perundang-undangan yang sudah ada, mengganti jika tidak sesuai lagi dan membentuk ketentuan hukum baru. Selain adanya upaya penanggulangan dengan cara, proses, pembuatan menangani kejahatan (cyber crime) dengan hukum pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) mengenakan hukum pidana dengan adanya peraturan yang mengatur hak negara dan alat kelengkapannya untuk mengancam, menjatuhkan, dan melaksanakan hukuman terhadak subjek hukum yang melanggar larangan atau perintah yang telah ditentukan dalam hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale). Daam konteksnya bahwa sudah ada kebijakan hukum pidana yang dapat digunakan untuk menanggulangi cyber crime terutama dalam penyalahgunaan informasi. KUHP, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun tentu setiap kebijakan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. Saat ini pengaturan mengenai yurisdiksi tidak diatur dengan jelas serta perlunya pengaturan lebih jelas dengan pertanggungjawaban dari subjek hukum terutama korporasi. Kelemahan tersebut menuntut kebijakan formulasi hukum yang mudah dan tepat dalam penanggulangan kejahatan pada umumnya serta penyalahgunaan informasi pada khususnya. Dalam pembentukan kebijakan hukum pidana tersebut haruslah memperhatikan dengan baik karakteristik dari cyber crime yang berbasis pada teknologi informasi yang terjadi di dunia maya dan bersifat transnasional. Dengan langkah awal kriminalisasi, maka penentuan yurisdiksi, subjek dan objek tindak pidana, perumusan tindak pidana, perumusan pertanggungjawaban pidana, perumusan sanksi pidana, dan perumusan sistem pemidanaan harus dilakukan dengan tetap sasaran. Mengingat kejahatan dunia maya tidak bisa dilawan dengan cara dunia nyata. Orientasi dari formulasi kebijakan pidana yang baru juga harus jauh ke depan memikirkan kemungkinan besar dampak buruk bentuk kejahatan baru. Tidak semata-mata hanya memikirkan untuk melahirkan aturan baru memang. Tetapi juga harus dimaksimalkan upaya penanggulangan dan pencegahan dengan instrumen hukum yang ada saat ini. Memaksimalkan Faktanya kejahatan tradisonal yang sekarang menjadi konvensional ternyata mampu melahirkan kejahatan dunia maya yang memerlukan cara baru dalam penanggulangannya. Bagaimana dengan kejahatan dunia maya saat ini, dimungkinkan akan lahir bentuk kejahatan lain diluar jangkauan manusia dalam beberapa waktu ke depannya.






PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada dasarnya sudah ada kebijakan hukum pidana yang mengatur terkait penyalahgunaan informasi. Namun dalam penegakan hukumnya masih membutuhkan tindakan yang tegas dan kesadaran dari penegak hukum dan subjek hukum yang menjalankannya. Selain memang kebijakan hukum pidana itu sendiri memang memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Terjadinya cyber crime di dunia maya membutuhkan cyber law dan yurisdikasinya yang transnasional juga membutuhkan penegakan hukum yang transnasional.
Kelemahan dari setiap kebijakan hukum pidana baik dalam hukum pidana umum atau khusus dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan harus menjadi solusi hukum yang tepat. Dalam memenuhi kebutuhan dan penyelesaian masalah nasional. Setiap kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai kejahatan teknologi informasi tersebut diharuskan tidak ada tumpang tindih agar dalam law inforcement tidak berbenturan realisasi muatan materinya.
B.     Saran
Tidak bisa dipungkiri kalau realita saat ini bahwa peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai kebijakan hukum pidana menanggulangi setiap kejahatan masih belum maksimal. Tidak efektif menjadi problem solving masalah hukum dan kebutuhan setiap masyarakat. Masih adanya muatan materi masing-masing yang saling over laping atau tumpang tindih. Sehingga perlu dilakukan pembentukan kebijakan hukum pidana dengan metode yang tidak asal jadi. Meski memang seburuk-buruknya sebuah hukum jika dilaksanakan dengan proses dan tujuan baik tentu akan menghasilkan produk yang baik pula. Sayangnya hukum di Indonesia sudah baik tetapi penegakan dan kesadaran hukum dari aparat hukum dan subjek hukum yang harus diperbaiki.
Reformasi kebijakan pidana yang dilakukan harus mampu menjawab permasalahan yang kemungkinan akan muncul di masa depan. Hal ini demi langkah preventif besar kecilnya bentuk dan dampak kejahatan kedepannya. Sehingga tidak terjadi upaya represif yang justru akan semakin memperparah kondisi. Selain itu berbicara tentang realita saat ini maka dengan segala sesuatu yang ada dalam hukum positif. Segala upaya harus dimaksimalkan untuk mengatasi setiap masalah dan memenuhi setiap kebutuhan saat ini. Tanpa mengesampingkan upaya lain terhadap kemungkinan kejahatan baru di masa depan.






DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku literatur
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi Safrudin Abdul. 2008. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Edisi Kedua). Bumi Aksara
Djaja, Ermansjah. 2010. Penyelesaian Sengketa Hukum Teknologi Informasi Dan Transaksi Elektronika. Pustaka Timur. Yogyakarta
Manthovani, Reda. 2006. Problematika dan Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia. PT Malibu. Jakarta
Ramli, Ahmad M.. 2004. Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung
Sitompul, Asril. 2001. Hukum Internet (Pengenalan mengenai Masalah Hukum di Cyberspace). PT Citra Aditya Akti. Bandung
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Soetami, Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia (Cetakan Kelima). PT Refika Aditama. Bandung
Solahuddin, 2009. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata (Cetakan Ketiga). Visimedia. Jakarta
Tangwun, Rodiyah. 2011. Teknik Perundang-undangan. Badan Penerbitan Universitas Negeri Semarang. Semarang
Tanya, Bernard L.. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama (Cetakan Pertama). Genta Publishing. Yogyakarta
Wagiran dan Doyin, Mukh. 2009. Bahasa Indonesia Pengantar Penulisan karya Ilmiah (Cetakan Pertama). Universitas Negeri Semarang. Semarang
Widyopramono. 1994. Kejahatan di Bidang Komputer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Makalah, artikel, dan karya ilmiah
Haryadi, Dwi. 2007. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Disertasi. Universitas Diponegoro
Web
Muarif, Syamsul. 2010. Menunggu Lahirnya Cyber Law, dalam http//www.cybernews.cbn.id, diakses tanggal 18 Oktober 2010, 22:00 WIB
Hamzah, Andi. 2009. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia.  http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html diakses tanggal 18 Juni 2012 pukul 10:41 WIB
Peraturan perundang-undangan
Mahkamah Konstitusi. 2011. Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[1] Dwi Haryadi dalam Abdul Wahid dan Mohammad Labib. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1
[2] Ahmad M. Ramli. Cyber Law dab HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. (Bandung ;  PT Refka Aditama. 2004), hal 1
[3] Didik M. Arief Mansyur, Elisatris Gultom, Cyber law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung; Reflika Aditama, 2005), hal. 8.
[4] Dwi Haryadi. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1-2
[5] Dwi Haryadi dalam Ermansjah Djaja. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1