PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Informasi
menjadi salah satu kebutuhan radikal yang harus dipenuhi setiap
harinya. Media cetak yang dulunya menjadi sumber terbesar mengalirnya
informasi kini cenderung ditinggalkan. Hanya duduk di depan sebuah
komputer sudah bisa menjelajahi setiap sudut dunia. Perkembangan
teknologi informasi sudah membuat dunia seakan hanya selebar sebuah
layar komputer. Kemajuan ilmu pengetahuan menciptakan teknologi yang
mempengaruhi pola pikir dan pola hidup manusia. Setiap produk dari
teknologi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
sebagai produsen sekaligus konsumen informasi.
A. Latar Belakang
Namun
kemudahan ini tentu tidak bisa dihindarkan dari bahaya laten yang akan
selalu mengikuti setiap manfaat. Mudah dan cepatnya didapatkan sebuah
informasi dalam hitungan detik menuntut juga konsekuensi mudah dan
cepatnya dilakukan kejahatan informasi di dunia maya. Faktanya saat ini
kemajuan teknologi berbanding lurus dengan meningkatnya kriminal. Salah
satu yang menjadi langganan terjadinya tindak pidana adalah penggunaan
komputer dalam penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
“Salah satu kemajuan terknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah internet”[1].
Jaringan komputer-komputer yang saling terhubung membuat hilangnya
batas-batas wilayah. Dunia maya menginternasionalisasi dunia nyata.
Dunia cyber yang sering disebut dunia maya menjadi titik awal akselerasi
distribusi informasi dan membuat dunia internasional menjadi borderless (tanpas
batas). “Teknologi informatika saat ini menjadi pedang bermata dua,
karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan,
kemajuan peradaban dunia, sekaligus menjadi sarana efektif melawan
hukum”[2].
Maka untuk menghadapi sifat melawan hukum yang terbawa dalam
perkembangan informasi data di dunia maya. Diperlukan sebuah perlawanan
dari hukum positif yang ada. “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada sebelumnya” hal ini adalah asas legalitas yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Hukum pidana merupakan salah satu instrumen dalam
menghadapi perbuatan melawan hukum. Maka perlu dikaji lebih mendalam
secara teoritik bagaimana kebijakan hukum pidana yang dalam faktanya
sering kalah satu langkah dengan tindak pidana. Dalam hal ini terhadap
kejahatan penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisam ini adalah :
- Bagaimana perkembangan penyalahgunaan informasi data di dunia cyber ?
- Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap kejahatan penyalahgunaan informasi data ?
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Untuk
mempermudah pemahaman tulisan ini maka perlu dijelaskan secara singkat
dan jelas defenisi dari setiap kata terkait judul. Kebijakan (beschiking)
adalah suatu produk kewenangan yang sudah berbentuk aturan atau
perbuatan dalam mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur. Hukum itu
bersifat memaksa dengan adanya sanksi yang nyata dan tegas. Jika
ditelaah dari bahasa Arab hukum berarti dapat melakukan paksaan. Hukum (recht) berasal dari bahasa latin yang berarti bimbingan atau tuntutan pemerintahan. Sedangkan hukum (ius)
dalam bahasa latin berarti mengatur atau memerintah yang berpangkal
pada kewibawaan. Menurut JCT Simorangkir dan Sastroparoto, hukum
merupakan peraturan yang memaksa, menentukan tingkah laku dalam
masyarakat dibuat badan resmi dan pelanggaran akan diberi tindakan yaitu
hukuman.
Menurut
Soedarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan pada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat. Adapun unsur-unsur dari
pidana adalah sebagai berikut :
- Pengenaan penderitaan / nestapa / akibat yang tidak menyenangkan
- Diberikan secara sengaja oleh orang / badan yang berwenang
- Kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Menurut
Moeljatno hukum pidana merupakan bagian keseluruhan hukum yang berlaku
di suatu negara yang mengenakan dasar dan aturan untuk menentukan
perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dengan ancaman pidana serta
menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
dapat dikenakan pidana juga menentukan cara pengenaan pidana
dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar.
Kejahatan sesuai dengan KUHP Pasal 86 “Jika
disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam
arti suatu kejahatan tertentu, maka disitu termasuk pembantuan dan
percobaan melakukan kejahatan, kecuali jika dinyatakan sebaliknya oleh
suatu aturan” Kejahatan / rechtdelicten (mala perse)
adalah perbuatan bersifat melawan hukum sejak awalnya meskipun tidak
diatur dalam undang-undang (UU). Sedangkan dalam hukum dan teknologi
yang disebut kejahatan adalah penyalahgunaan komputer dengan tujuan
profit, terorisme (penciptaan virus), dan kejahatan atas globalisasi
eknomi.
Penyalahgunaan
adalah pemakaian suatu hal tertentu yang tidak sesuai atau menyimpang
dari fungsi dan manfaatnya. Informasi yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah informasi elektronik. Sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 tahun 2008 tentang
ITE) Pasal 1 angka 1 bahwa :
“Informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, poto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”
Data adalah fakta atau informasi yang khususnya telah diberikan melalui komputer. Sedangkan dunia cyber adalah adalah dunia maya yang tercipta dalam hubungan jaringan antar komputer yang sekarang ini lebih kerap dijumpai dalam internet.
Kejahatan dunia maya (cyber crime) merujuk pada tindak pidana yang berhubungan dengan dunia maya (cyber space) dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer. Saat ini adanya yang menyamakan antara tindak cyber crime dengan tindak kejahatan komputer, dan ada yang membedakan diantara keduanya. Cyber crime sering
juga disebut dalam istilah lain seperti kejahatan komputer, kejahatan
mayantara, kejahatan dibidang teknologi informasi, dan masih banyak
lagi. “Kejahatan komputer atau kejahatan di dunia maya adalahupaya
memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer tanpa izin dan dengan
melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan
pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.”[3]
Pengaturan
terbaru mengenai informasi dan transaksi elektronik dalam dunia maya
sudah diatur melalui UU lama sebelumnya yang berhubungan dengan
teknologi dan informatika selain UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Meski
memang masih menyimpan berbagai kekurangan. Maka dibutuhkan langkah
konkret dari melalui hukum pidana untuk menekan angka kriminal. Dengan
berlakunya UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE tersebut terjadi
kriminalisasi terkait penyalahgunaan dan penyimpangan terkait informasi
data.
PEMBAHASAN
Faktanya
saat ini perkembangan teknologi sudah mengarahkan berbagai aktifitas
manusia dilakukan sebagian besar memakai komputer. Inter-connenction network (internet) menjadi jendela baru yang menyatukan setipa batas dan perbedaan. Tidak bisa dipungkiri kalau internet sudah merubah lifestyle. Terdapat sebuah fenomena bahwa :
Penggunaan komputer dengan telekomunikasi melahirkan suatu fenomena yang mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional (face to face), dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi tiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris manusia (hard reality), dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (soft reality) maka dengan dimensi ketiga dikenal kenyataan maya (virtual reality) yang melahirkan suatu format masyaralat lainnya.[4]
Untuk bertemu dalam urusan apapun meski dipisahkan oleh jarak dan waktu melalui alat komunikasi berupa telepon seluler, teleconfrence, jejaring sosial, web camera,
dan alat komuniasi antar komputer lainnya. Maka sudah bisa dilakukan
pembicaraan seakan-akan pihak yang sedang berkomunikasi berbicara face to face. Virtual reality
yang tidak bisa dijelaskan posisinya dimana karena memang tidak kasat
mata. Namun tidak perlu dibuktikan keberadaannya, kontribusi nyatanya
dalam teknologi informasi sudah menunjukkan eksistensinya.
Kejahatan
itu setua usia manusia karena dibelahan dunia manapun ada manusia
disitu terdapat kejahatan. Realitas perkembangan teknologi juga diikuti
dengan kejahatan. Mudahnya untuk memberikan informasi secara global.
Sebuah data privasi dalam bentuk dokumen, foto, atau video bisa
disalahgunakan oleh berbagai pihak ketika sudah di upload ke
internet. Bahkan hanya sekedar memakai sebuah komputer dan mengambil
datanya tanpa sepengatahuan pemilik komputer tersebut. Hal itu sudah
termasuk dalam cyber crime yang bisa saja berujuang dalam pencurian data dan penyalahgunaan informasi data.
Teknologi sangat mempunyai pengaruh besar dalam kejahatan diantaranya:
- Meniadakan batas negara
Kejahatan
dalam penyalahgunaan informasi sudah tidak lagi hanya terjadi dalam
ruang lingkup kecil. Pencurian informasi sudah bisa dilakukan dari kutub
utara ke kutub selatan. Seorang anak kecil yang sudah mengerti dengan
komputer sudah bisa melakukan kejahatan tanpa disadarinya dengan
melakukan tindakan tertentu demi mempermudah menyelesaikan sebuah game online. Uang dari sebuah bank di negara tertentu bisa juga tiba-tiba sudah berpindah ke rekening sebuah di negara lain.
- Meningkatkan modus operandi / cara melakukan kejahatan
Pencurian dengan cara jambret, perampokan
dan cara konvensional lainnya. Kini sudah beralih dengan cara lain,
pembobolan atm, penipuan melalui undian berhadiah, pembobolan rekening,
transaksi fiktif, dan cara-cara lainnya yang memanfaat perkembangan
teknologi informasi.
- Mempercepat informasi
Berita
terkait terjadinya sebuah kejahatan di belahan dunia yang sedang
menerima sinar matahari sudah langsung bisa diterima dibelahan dunia
lain yang sedang menerima sinar bulan. Informasi yang didapatkan dengan
cara ilegal mudah saja langsung diperbanyak dan disebarluaskan ke
berbagai negara bahkan bisa menjadi konsumsi publik.
- Melahirkan kejahatan baru
Hampir
sama dengan meningkatnya modus operandi, kejahatan lama seolah menjadi
kejahatan baru. Pencurian uang dengan cara berhadapan langsung pelaku
kejahatan dengan korban. Kini mampu dilakukan dengan mencuri uang dari
satu negara ke negara lain. Tanpa harus pergi ke negara tujuan korban
tersebut.
- Memberi dampak pada batas yurisdiksi kedaulatan hukum pidana
Kejahatan
yang dilakukan oleh pelaku pidana dari Benua Amerika berakibat di Benua
Asia (kejahatan transnasional). Hukum positif yang berlaku di negara
asal korban tidak bisa berfungsi mengikat pelaku. Kalaupun harus
dikenakan sebuah akibat hukum. Maka perjanjian ekstradisi harus ada
ataupun dengan hukum pidana internasional.
Sesungguhnya
segala sesuatu perkembangan apapun yang terjadi di masyarakat Indonesia
sesuai tujuan negara maka prospeknya adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Hal ini demi pengamalan nilai-nilai Pancasila yang
dikristalisasi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (UUD NRI 1945). Tujuan negara tersebut tertuang dalam pembukaan
UUD NRI 1945 paragraf ke empat.
Untuk mencapai tujuan negara tersebut hukum pidana memiliki peran penting sebagai ultimum remidium
terhadap kejahatan dan pelanggaran. Kemajuan dan perkembangan
teknologi, khususnya telekomunikasi dan teknologi informasi dapat
merubah tatanan organisasi dan hubungan sosial setiap individu di
masyarakat. Maka diperlukan langkah konkret untuk mengatasi fenomena
tersebut.
Kriminologi
adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk
kriminal. Kriminologi mempunyai peran penting dalam hukum pidana. Hasil
kriminologi dapat dimanfaatkan aparat hukum untuk menerapkan hukum
pidana agar tercipta keadilan, kepastian, dan manfaat hukum. Hasil dari
kriminologi juga menjadi masukan dalam merumuskan hukum pidana yang akan
datang (ius constituendum). Berawal dari produk kriminologi
maka hukum pidana mampu mengeluarkan kebijakan dalam melakukan
kriminalisasi dan penegakan hukum.
Hukum nasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Kosentris
Adanya satu tangan yang mengatur/membuat yaitu pengundang-undang
- Konvergen
Hukum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan
- Tertulis
Untuk lebih menjamin kepastian hukum.
Sesuai
dengan ciri-ciri tersebut maka akan tercipta sistematika langkah yang
tepat dalam mengambil sebuah kebijakan. Dalam mengamalkan asas legalitas
maka ciri kosentris harus dilakukan. Karena sifat konvergen yang pada
faktanya saat ini menerima fenomena perkembangan teknologi informasi.
Maka kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan melahirkan peraturan baru
atau merubah sebagian atau seluruhnya aturan lama agar dapat beradaptasi
dengan keadaan masyarakat setelah mengalami perubahan.
Mendapatkan dengan begitu cepat dan mudah informasi adalah produk dari kemajuan teknologi. Perlu dipahami bahwa
“kemajuan
dibidang teknologi akan berjalan bersamaan dengan munculnya
perubahan-perubahan didalam masyarakat dapat mengenai nilai sosial,
kaidah-kaidah sosial, pola-pola perilakuan, organisasi dan susunan
lembaga kemasyarakatan. Cicero mengatakan “ubi societies ibi ius“ dimana ada masyarakat disitu ada hukum.”[5]
Dalam masyarakat saat ini terhadap penyalahgunaan informasi di dunia cyber
terdapat hukum pidana yang membatasi tingkah laku. Namun sayangnya atas
kejahatan tersebut dalam KUHP tidak mengatur dengan jelas pengertian
kejahatan meski dirumuskan sebagai strafbaar feit. Berbedanya
setiap kapasitas subjek hukum dalam ekonomi, moral, psikologi, dan aspek
lainnya. Memberikan cara beradaptasi yang berbeda untuk menghadapi
perubahan tanpa harus meninggalkan nilai dan moral yang sudah hidup dan
berlaku. Sayangnya tetap ada pihak yang harus beradaptasi dan menyimpang
dari koridor hukum. Kembali hukum pidana harus mampu memberikan
kebijakan untuk menghadapi perilaku menyimpang tersebut. Hukum dalam hal
ini hukum pidana dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjadi lawan utama
kejahatan. Fungsi preventif dan represif dari hukum itu harus berlaku
secara bersamaan demi mendapatkan penegakan hukum yang lebih baik.
Kejahatan dunia maya yang sudah menjadi bahasa sehari-hari disebut cyber crime adalah bentuk baru kejahatan dengan lahirnya virtual reality.
Untuk itu bentuk-bentuk perbuatan hukum itu perlu mendapatkan
penyesuaian, seperti melakukan harmonisasi terhadap beberapa
perundang-undangan yang sudah ada, mengganti jika tidak sesuai lagi dan
membentuk ketentuan hukum baru. Selain adanya upaya penanggulangan
dengan cara, proses, pembuatan menangani kejahatan (cyber crime) dengan hukum pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi)
mengenakan hukum pidana dengan adanya peraturan yang mengatur hak
negara dan alat kelengkapannya untuk mengancam, menjatuhkan, dan
melaksanakan hukuman terhadak subjek hukum yang melanggar larangan atau
perintah yang telah ditentukan dalam hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale). Daam konteksnya bahwa sudah ada kebijakan hukum pidana yang dapat digunakan untuk menanggulangi cyber crime terutama
dalam penyalahgunaan informasi. KUHP, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992
tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor
44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun tentu setiap kebijakan
tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. Saat ini pengaturan mengenai
yurisdiksi tidak diatur dengan jelas serta perlunya pengaturan lebih
jelas dengan pertanggungjawaban dari subjek hukum terutama korporasi.
Kelemahan tersebut menuntut kebijakan formulasi hukum yang mudah dan
tepat dalam penanggulangan kejahatan pada umumnya serta penyalahgunaan
informasi pada khususnya. Dalam pembentukan kebijakan hukum pidana
tersebut haruslah memperhatikan dengan baik karakteristik dari cyber crime
yang berbasis pada teknologi informasi yang terjadi di dunia maya dan
bersifat transnasional. Dengan langkah awal kriminalisasi, maka
penentuan yurisdiksi, subjek dan objek tindak pidana, perumusan tindak
pidana, perumusan pertanggungjawaban pidana, perumusan sanksi pidana,
dan perumusan sistem pemidanaan harus dilakukan dengan tetap sasaran.
Mengingat kejahatan dunia maya tidak bisa dilawan dengan cara dunia
nyata. Orientasi dari formulasi kebijakan pidana yang baru juga harus
jauh ke depan memikirkan kemungkinan besar dampak buruk bentuk kejahatan
baru. Tidak semata-mata hanya memikirkan untuk melahirkan aturan baru
memang. Tetapi juga harus dimaksimalkan upaya penanggulangan dan
pencegahan dengan instrumen hukum yang ada saat ini. Memaksimalkan
Faktanya kejahatan tradisonal yang sekarang menjadi konvensional
ternyata mampu melahirkan kejahatan dunia maya yang memerlukan cara baru
dalam penanggulangannya. Bagaimana dengan kejahatan dunia maya saat
ini, dimungkinkan akan lahir bentuk kejahatan lain diluar jangkauan
manusia dalam beberapa waktu ke depannya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
dasarnya sudah ada kebijakan hukum pidana yang mengatur terkait
penyalahgunaan informasi. Namun dalam penegakan hukumnya masih
membutuhkan tindakan yang tegas dan kesadaran dari penegak hukum dan
subjek hukum yang menjalankannya. Selain memang kebijakan hukum pidana
itu sendiri memang memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing.
Terjadinya cyber crime di dunia maya membutuhkan cyber law dan yurisdikasinya yang transnasional juga membutuhkan penegakan hukum yang transnasional.
Kelemahan
dari setiap kebijakan hukum pidana baik dalam hukum pidana umum atau
khusus dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan harus menjadi
solusi hukum yang tepat. Dalam memenuhi kebutuhan dan penyelesaian
masalah nasional. Setiap kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai
kejahatan teknologi informasi tersebut diharuskan tidak ada tumpang
tindih agar dalam law inforcement tidak berbenturan realisasi muatan materinya.
B. Saran
Tidak
bisa dipungkiri kalau realita saat ini bahwa peraturan
perundang-undangan yang dijadikan sebagai kebijakan hukum pidana
menanggulangi setiap kejahatan masih belum maksimal. Tidak efektif
menjadi problem solving masalah hukum dan kebutuhan setiap masyarakat. Masih adanya muatan materi masing-masing yang saling over laping
atau tumpang tindih. Sehingga perlu dilakukan pembentukan kebijakan
hukum pidana dengan metode yang tidak asal jadi. Meski memang
seburuk-buruknya sebuah hukum jika dilaksanakan dengan proses dan tujuan
baik tentu akan menghasilkan produk yang baik pula. Sayangnya hukum di
Indonesia sudah baik tetapi penegakan dan kesadaran hukum dari aparat
hukum dan subjek hukum yang harus diperbaiki.
Reformasi
kebijakan pidana yang dilakukan harus mampu menjawab permasalahan yang
kemungkinan akan muncul di masa depan. Hal ini demi langkah preventif
besar kecilnya bentuk dan dampak kejahatan kedepannya. Sehingga tidak
terjadi upaya represif yang justru akan semakin memperparah kondisi.
Selain itu berbicara tentang realita saat ini maka dengan segala sesuatu
yang ada dalam hukum positif. Segala upaya harus dimaksimalkan untuk
mengatasi setiap masalah dan memenuhi setiap kebutuhan saat ini. Tanpa
mengesampingkan upaya lain terhadap kemungkinan kejahatan baru di masa
depan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku literatur
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi Safrudin Abdul. 2008. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Edisi Kedua). Bumi Aksara
Djaja, Ermansjah. 2010. Penyelesaian Sengketa Hukum Teknologi Informasi Dan Transaksi Elektronika. Pustaka Timur. Yogyakarta
Manthovani, Reda. 2006. Problematika dan Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia. PT Malibu. Jakarta
Ramli, Ahmad M.. 2004. Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung
Sitompul, Asril. 2001. Hukum Internet (Pengenalan mengenai Masalah Hukum di Cyberspace). PT Citra Aditya Akti. Bandung
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Soetami, Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia (Cetakan Kelima). PT Refika Aditama. Bandung
Solahuddin, 2009. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata (Cetakan Ketiga). Visimedia. Jakarta
Tangwun, Rodiyah. 2011. Teknik Perundang-undangan. Badan Penerbitan Universitas Negeri Semarang. Semarang
Tanya, Bernard L.. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama (Cetakan Pertama). Genta Publishing. Yogyakarta
Wagiran dan Doyin, Mukh. 2009. Bahasa Indonesia Pengantar Penulisan karya Ilmiah (Cetakan Pertama). Universitas Negeri Semarang. Semarang
Widyopramono. 1994. Kejahatan di Bidang Komputer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Makalah, artikel, dan karya ilmiah
Haryadi, Dwi. 2007. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Disertasi. Universitas Diponegoro
Web
Muarif, Syamsul. 2010. Menunggu Lahirnya Cyber Law, dalam http//www.cybernews.cbn.id, diakses tanggal 18 Oktober 2010, 22:00 WIB
Hamzah, Andi. 2009. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia. http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html diakses tanggal 18 Juni 2012 pukul 10:41 WIB
Peraturan perundang-undangan
Mahkamah Konstitusi. 2011. Undang-Undang
Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang
perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
[1] Dwi Haryadi dalam Abdul Wahid dan Mohammad Labib. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1
[2] Ahmad M. Ramli. Cyber Law dab HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. (Bandung ; PT Refka Aditama. 2004), hal 1
[3] Didik M. Arief Mansyur, Elisatris Gultom, Cyber law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung; Reflika Aditama, 2005), hal. 8.
[4] Dwi Haryadi. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1-2
[5] Dwi Haryadi dalam Ermansjah Djaja. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar