Jumat, 23 November 2012

KEBiJAKAN HUKUM PIDANA

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN INFORMASI DATA DI DUNIA MAYA




PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Informasi menjadi salah satu kebutuhan radikal yang harus dipenuhi setiap harinya. Media cetak yang dulunya menjadi sumber terbesar mengalirnya informasi kini cenderung ditinggalkan. Hanya duduk di depan sebuah komputer sudah bisa menjelajahi setiap sudut dunia. Perkembangan teknologi informasi sudah membuat dunia seakan hanya selebar sebuah layar komputer. Kemajuan ilmu pengetahuan menciptakan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan pola hidup manusia. Setiap produk dari teknologi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sebagai produsen sekaligus konsumen informasi.
A.    Latar Belakang
Namun kemudahan ini tentu tidak bisa dihindarkan dari bahaya laten yang akan selalu mengikuti setiap manfaat. Mudah dan cepatnya didapatkan sebuah informasi dalam hitungan detik menuntut juga konsekuensi mudah dan cepatnya dilakukan kejahatan informasi di dunia maya. Faktanya saat ini kemajuan teknologi berbanding lurus dengan meningkatnya kriminal. Salah satu yang menjadi langganan terjadinya tindak pidana adalah penggunaan komputer dalam penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
“Salah satu kemajuan terknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah internet”[1]. Jaringan komputer-komputer yang saling terhubung membuat hilangnya batas-batas wilayah. Dunia maya menginternasionalisasi dunia nyata. Dunia cyber yang sering disebut dunia maya menjadi titik awal akselerasi distribusi informasi dan membuat dunia internasional menjadi borderless (tanpas batas). “Teknologi informatika saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban dunia, sekaligus menjadi sarana efektif melawan hukum”[2]. Maka untuk menghadapi sifat melawan hukum yang terbawa dalam perkembangan informasi data di dunia maya. Diperlukan sebuah perlawanan dari hukum positif yang ada. “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali  berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya” hal ini adalah asas legalitas yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana merupakan salah satu instrumen dalam menghadapi perbuatan melawan hukum. Maka perlu dikaji lebih mendalam secara teoritik bagaimana kebijakan hukum pidana yang dalam faktanya sering kalah satu langkah dengan tindak pidana. Dalam hal ini terhadap kejahatan penyalahgunaan informasi data di dunia cyber.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisam ini adalah :
  1. Bagaimana perkembangan penyalahgunaan informasi data di dunia cyber ?
  2. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap kejahatan penyalahgunaan informasi data ?
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian
Untuk mempermudah pemahaman tulisan ini maka perlu dijelaskan secara singkat dan jelas defenisi dari setiap kata terkait judul. Kebijakan (beschiking) adalah suatu produk kewenangan yang sudah berbentuk aturan atau perbuatan dalam mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur. Hukum itu bersifat memaksa dengan adanya sanksi yang nyata dan tegas. Jika ditelaah dari bahasa Arab hukum berarti dapat melakukan paksaan. Hukum (recht) berasal dari bahasa latin yang berarti bimbingan atau tuntutan pemerintahan. Sedangkan hukum (ius) dalam bahasa latin berarti mengatur atau memerintah yang berpangkal pada kewibawaan. Menurut JCT Simorangkir dan Sastroparoto, hukum merupakan peraturan yang memaksa, menentukan tingkah laku dalam masyarakat dibuat badan resmi dan pelanggaran akan diberi tindakan yaitu hukuman.
Menurut Soedarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan pada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat. Adapun unsur-unsur dari pidana adalah sebagai berikut :
  1. Pengenaan penderitaan / nestapa / akibat yang tidak menyenangkan
  2. Diberikan secara sengaja oleh orang / badan yang berwenang
  3. Kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Menurut Moeljatno hukum pidana merupakan bagian keseluruhan  hukum yang berlaku di suatu negara yang mengenakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dengan ancaman pidana serta menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar dapat dikenakan pidana juga menentukan cara pengenaan pidana dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar.
Kejahatan sesuai dengan KUHP Pasal 86 “Jika disebut kejahatan, baik dalam arti kejahatan pada umumnya maupun dalam arti suatu kejahatan tertentu, maka disitu termasuk pembantuan dan percobaan melakukan kejahatan, kecuali jika dinyatakan sebaliknya oleh suatu aturan” Kejahatan / rechtdelicten (mala perse) adalah perbuatan bersifat melawan hukum sejak awalnya meskipun tidak diatur dalam undang-undang (UU). Sedangkan dalam hukum dan teknologi yang disebut kejahatan adalah penyalahgunaan komputer dengan tujuan profit, terorisme (penciptaan virus), dan kejahatan atas globalisasi eknomi.
Penyalahgunaan adalah pemakaian suatu hal tertentu yang tidak sesuai atau menyimpang dari fungsi dan manfaatnya. Informasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah informasi elektronik. Sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE) Pasal 1 angka 1 bahwa :
“Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, poto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”
Data adalah fakta atau informasi yang khususnya telah diberikan melalui komputer. Sedangkan dunia cyber adalah adalah dunia maya yang tercipta dalam hubungan jaringan antar komputer yang sekarang ini lebih kerap dijumpai dalam internet.
Kejahatan dunia maya (cyber crime) merujuk pada tindak pidana yang berhubungan dengan dunia maya (cyber space) dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer. Saat ini adanya yang menyamakan antara tindak cyber crime dengan tindak kejahatan komputer, dan ada yang membedakan diantara keduanya. Cyber crime sering juga disebut dalam istilah lain seperti kejahatan komputer, kejahatan mayantara, kejahatan dibidang teknologi informasi, dan masih banyak lagi. “Kejahatan komputer atau kejahatan di dunia maya adalahupaya memasuki dan atau menggunakan fasilitas komputer tanpa izin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.”[3]
Pengaturan terbaru mengenai informasi dan transaksi elektronik dalam dunia maya sudah diatur melalui UU lama sebelumnya yang berhubungan dengan teknologi dan informatika selain UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Meski memang masih menyimpan berbagai kekurangan. Maka dibutuhkan langkah konkret dari melalui hukum pidana untuk menekan angka kriminal. Dengan berlakunya UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE tersebut terjadi kriminalisasi terkait penyalahgunaan dan penyimpangan terkait informasi data.




PEMBAHASAN


A.    Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Penyalahgunaan Informasi Data di Dunia Maya
Faktanya saat ini perkembangan teknologi sudah mengarahkan berbagai aktifitas manusia dilakukan sebagian besar memakai komputer. Inter-connenction network (internet) menjadi jendela baru yang menyatukan setipa batas dan perbedaan. Tidak bisa dipungkiri kalau internet sudah merubah lifestyle. Terdapat sebuah fenomena bahwa :
Penggunaan komputer dengan telekomunikasi melahirkan suatu fenomena yang mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional (face to face), dengan melahirkan kenyataan dalam dimensi tiga. Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris manusia (hard reality), dimensi kedua merupakan kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (soft reality) maka dengan dimensi ketiga dikenal kenyataan maya (virtual reality) yang melahirkan suatu format masyaralat lainnya.[4]
Untuk bertemu dalam urusan apapun meski dipisahkan oleh jarak dan waktu melalui alat komunikasi berupa telepon seluler, teleconfrence, jejaring sosial, web camera, dan alat komuniasi antar komputer lainnya. Maka sudah bisa dilakukan pembicaraan seakan-akan pihak yang sedang berkomunikasi berbicara face to face. Virtual reality yang tidak bisa dijelaskan posisinya dimana karena memang tidak kasat mata. Namun tidak perlu dibuktikan keberadaannya, kontribusi nyatanya dalam teknologi informasi sudah menunjukkan eksistensinya.
Kejahatan itu setua usia manusia karena dibelahan dunia manapun ada manusia disitu terdapat kejahatan. Realitas perkembangan teknologi juga diikuti dengan kejahatan. Mudahnya untuk memberikan informasi secara global. Sebuah data privasi dalam bentuk dokumen, foto, atau video bisa disalahgunakan oleh berbagai pihak ketika sudah di upload ke internet. Bahkan hanya sekedar memakai sebuah komputer dan mengambil datanya tanpa sepengatahuan pemilik komputer tersebut. Hal itu sudah termasuk dalam cyber crime yang bisa saja berujuang dalam pencurian data dan penyalahgunaan informasi data.
Teknologi sangat mempunyai pengaruh besar dalam kejahatan diantaranya:
  • Meniadakan batas negara
Kejahatan dalam penyalahgunaan informasi sudah tidak lagi hanya terjadi dalam ruang lingkup kecil. Pencurian informasi sudah bisa dilakukan dari kutub utara ke kutub selatan. Seorang anak kecil yang sudah mengerti dengan komputer sudah bisa melakukan kejahatan tanpa disadarinya dengan melakukan tindakan tertentu demi mempermudah menyelesaikan sebuah game online. Uang dari sebuah bank di negara tertentu bisa juga tiba-tiba sudah berpindah ke rekening sebuah di negara lain.
  • Meningkatkan modus operandi / cara melakukan kejahatan
Pencurian dengan cara jambret, perampokan dan cara konvensional lainnya. Kini sudah beralih dengan cara lain, pembobolan atm, penipuan melalui undian berhadiah, pembobolan rekening, transaksi fiktif, dan cara-cara lainnya yang memanfaat perkembangan teknologi informasi.
  • Mempercepat informasi
Berita terkait terjadinya sebuah kejahatan di belahan dunia yang sedang menerima sinar matahari sudah langsung bisa diterima dibelahan dunia lain yang sedang menerima sinar bulan. Informasi yang didapatkan dengan cara ilegal mudah saja langsung diperbanyak dan disebarluaskan ke berbagai negara bahkan bisa menjadi konsumsi publik.
  • Melahirkan kejahatan baru
Hampir sama dengan meningkatnya modus operandi, kejahatan lama seolah menjadi kejahatan baru. Pencurian uang dengan cara berhadapan langsung pelaku kejahatan dengan korban. Kini mampu dilakukan dengan mencuri uang dari satu negara ke negara lain. Tanpa harus pergi ke negara tujuan korban tersebut.
  • Memberi dampak pada batas yurisdiksi kedaulatan hukum pidana
Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku pidana dari Benua Amerika berakibat di Benua Asia (kejahatan transnasional). Hukum positif yang berlaku di negara asal korban tidak bisa berfungsi mengikat pelaku. Kalaupun harus dikenakan sebuah akibat hukum. Maka perjanjian ekstradisi harus ada ataupun dengan hukum pidana internasional.
Sesungguhnya segala sesuatu perkembangan apapun yang terjadi di masyarakat Indonesia sesuai tujuan negara maka prospeknya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini demi pengamalan nilai-nilai Pancasila yang dikristalisasi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945). Tujuan negara tersebut tertuang dalam pembukaan UUD NRI 1945 paragraf ke empat.
Untuk mencapai tujuan negara tersebut hukum pidana memiliki peran penting sebagai ultimum remidium terhadap kejahatan dan pelanggaran. Kemajuan dan perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi dan teknologi informasi dapat merubah tatanan organisasi dan hubungan sosial setiap individu di masyarakat. Maka diperlukan langkah konkret untuk mengatasi fenomena tersebut.
Kriminologi adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kriminal. Kriminologi mempunyai peran penting dalam hukum pidana. Hasil kriminologi dapat dimanfaatkan aparat hukum untuk menerapkan hukum pidana agar tercipta keadilan, kepastian, dan manfaat hukum. Hasil dari kriminologi juga menjadi masukan dalam merumuskan hukum pidana yang akan datang (ius constituendum). Berawal dari produk kriminologi maka hukum pidana mampu mengeluarkan kebijakan dalam melakukan kriminalisasi dan penegakan hukum.
Hukum nasional memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  • Kosentris
Adanya satu tangan yang mengatur/membuat yaitu pengundang-undang
  • Konvergen
Hukum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan
  • Tertulis
Untuk lebih menjamin kepastian hukum.
Sesuai dengan ciri-ciri tersebut maka akan tercipta sistematika langkah yang tepat dalam mengambil sebuah kebijakan. Dalam mengamalkan asas legalitas maka ciri kosentris harus dilakukan. Karena sifat konvergen yang pada faktanya saat ini menerima fenomena perkembangan teknologi informasi. Maka kebijakan tersebut bisa dilakukan dengan melahirkan peraturan baru atau merubah sebagian atau seluruhnya aturan lama agar dapat beradaptasi dengan keadaan masyarakat setelah mengalami perubahan.
Mendapatkan dengan begitu cepat dan mudah informasi adalah produk dari kemajuan teknologi. Perlu dipahami bahwa
“kemajuan dibidang teknologi akan berjalan bersamaan dengan munculnya perubahan-perubahan didalam masyarakat dapat mengenai nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola perilakuan, organisasi dan susunan lembaga kemasyarakatan. Cicero mengatakan “ubi societies ibi ius“ dimana ada masyarakat disitu ada hukum.”[5]
Dalam masyarakat saat ini terhadap penyalahgunaan informasi di dunia cyber terdapat hukum pidana yang membatasi tingkah laku. Namun sayangnya atas kejahatan tersebut dalam KUHP tidak mengatur dengan jelas pengertian kejahatan meski dirumuskan sebagai strafbaar feit. Berbedanya setiap kapasitas subjek hukum dalam ekonomi, moral, psikologi, dan aspek lainnya. Memberikan cara beradaptasi yang berbeda untuk menghadapi perubahan tanpa harus meninggalkan nilai dan moral yang sudah hidup dan berlaku. Sayangnya tetap ada pihak yang harus beradaptasi dan menyimpang dari koridor hukum. Kembali hukum pidana harus mampu memberikan kebijakan untuk menghadapi perilaku menyimpang tersebut. Hukum dalam hal ini hukum pidana dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjadi lawan utama kejahatan. Fungsi preventif dan represif dari hukum itu harus berlaku secara bersamaan demi mendapatkan penegakan hukum yang lebih baik. Kejahatan dunia maya yang sudah menjadi bahasa sehari-hari disebut cyber crime adalah bentuk baru kejahatan dengan lahirnya virtual reality. Untuk itu bentuk-bentuk perbuatan hukum itu perlu mendapatkan penyesuaian, seperti melakukan harmonisasi terhadap beberapa perundang-undangan yang sudah ada, mengganti jika tidak sesuai lagi dan membentuk ketentuan hukum baru. Selain adanya upaya penanggulangan dengan cara, proses, pembuatan menangani kejahatan (cyber crime) dengan hukum pidana.
Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) mengenakan hukum pidana dengan adanya peraturan yang mengatur hak negara dan alat kelengkapannya untuk mengancam, menjatuhkan, dan melaksanakan hukuman terhadak subjek hukum yang melanggar larangan atau perintah yang telah ditentukan dalam hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale). Daam konteksnya bahwa sudah ada kebijakan hukum pidana yang dapat digunakan untuk menanggulangi cyber crime terutama dalam penyalahgunaan informasi. KUHP, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun tentu setiap kebijakan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan. Saat ini pengaturan mengenai yurisdiksi tidak diatur dengan jelas serta perlunya pengaturan lebih jelas dengan pertanggungjawaban dari subjek hukum terutama korporasi. Kelemahan tersebut menuntut kebijakan formulasi hukum yang mudah dan tepat dalam penanggulangan kejahatan pada umumnya serta penyalahgunaan informasi pada khususnya. Dalam pembentukan kebijakan hukum pidana tersebut haruslah memperhatikan dengan baik karakteristik dari cyber crime yang berbasis pada teknologi informasi yang terjadi di dunia maya dan bersifat transnasional. Dengan langkah awal kriminalisasi, maka penentuan yurisdiksi, subjek dan objek tindak pidana, perumusan tindak pidana, perumusan pertanggungjawaban pidana, perumusan sanksi pidana, dan perumusan sistem pemidanaan harus dilakukan dengan tetap sasaran. Mengingat kejahatan dunia maya tidak bisa dilawan dengan cara dunia nyata. Orientasi dari formulasi kebijakan pidana yang baru juga harus jauh ke depan memikirkan kemungkinan besar dampak buruk bentuk kejahatan baru. Tidak semata-mata hanya memikirkan untuk melahirkan aturan baru memang. Tetapi juga harus dimaksimalkan upaya penanggulangan dan pencegahan dengan instrumen hukum yang ada saat ini. Memaksimalkan Faktanya kejahatan tradisonal yang sekarang menjadi konvensional ternyata mampu melahirkan kejahatan dunia maya yang memerlukan cara baru dalam penanggulangannya. Bagaimana dengan kejahatan dunia maya saat ini, dimungkinkan akan lahir bentuk kejahatan lain diluar jangkauan manusia dalam beberapa waktu ke depannya.






PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada dasarnya sudah ada kebijakan hukum pidana yang mengatur terkait penyalahgunaan informasi. Namun dalam penegakan hukumnya masih membutuhkan tindakan yang tegas dan kesadaran dari penegak hukum dan subjek hukum yang menjalankannya. Selain memang kebijakan hukum pidana itu sendiri memang memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Terjadinya cyber crime di dunia maya membutuhkan cyber law dan yurisdikasinya yang transnasional juga membutuhkan penegakan hukum yang transnasional.
Kelemahan dari setiap kebijakan hukum pidana baik dalam hukum pidana umum atau khusus dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan harus menjadi solusi hukum yang tepat. Dalam memenuhi kebutuhan dan penyelesaian masalah nasional. Setiap kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai kejahatan teknologi informasi tersebut diharuskan tidak ada tumpang tindih agar dalam law inforcement tidak berbenturan realisasi muatan materinya.
B.     Saran
Tidak bisa dipungkiri kalau realita saat ini bahwa peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai kebijakan hukum pidana menanggulangi setiap kejahatan masih belum maksimal. Tidak efektif menjadi problem solving masalah hukum dan kebutuhan setiap masyarakat. Masih adanya muatan materi masing-masing yang saling over laping atau tumpang tindih. Sehingga perlu dilakukan pembentukan kebijakan hukum pidana dengan metode yang tidak asal jadi. Meski memang seburuk-buruknya sebuah hukum jika dilaksanakan dengan proses dan tujuan baik tentu akan menghasilkan produk yang baik pula. Sayangnya hukum di Indonesia sudah baik tetapi penegakan dan kesadaran hukum dari aparat hukum dan subjek hukum yang harus diperbaiki.
Reformasi kebijakan pidana yang dilakukan harus mampu menjawab permasalahan yang kemungkinan akan muncul di masa depan. Hal ini demi langkah preventif besar kecilnya bentuk dan dampak kejahatan kedepannya. Sehingga tidak terjadi upaya represif yang justru akan semakin memperparah kondisi. Selain itu berbicara tentang realita saat ini maka dengan segala sesuatu yang ada dalam hukum positif. Segala upaya harus dimaksimalkan untuk mengatasi setiap masalah dan memenuhi setiap kebutuhan saat ini. Tanpa mengesampingkan upaya lain terhadap kemungkinan kejahatan baru di masa depan.






DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku literatur
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi Safrudin Abdul. 2008. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Edisi Kedua). Bumi Aksara
Djaja, Ermansjah. 2010. Penyelesaian Sengketa Hukum Teknologi Informasi Dan Transaksi Elektronika. Pustaka Timur. Yogyakarta
Manthovani, Reda. 2006. Problematika dan Solusi Penanganan Kejahatan Cyber di Indonesia. PT Malibu. Jakarta
Ramli, Ahmad M.. 2004. Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung
Sitompul, Asril. 2001. Hukum Internet (Pengenalan mengenai Masalah Hukum di Cyberspace). PT Citra Aditya Akti. Bandung
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Soetami, Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia (Cetakan Kelima). PT Refika Aditama. Bandung
Solahuddin, 2009. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana, & Perdata (Cetakan Ketiga). Visimedia. Jakarta
Tangwun, Rodiyah. 2011. Teknik Perundang-undangan. Badan Penerbitan Universitas Negeri Semarang. Semarang
Tanya, Bernard L.. 2011. Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama (Cetakan Pertama). Genta Publishing. Yogyakarta
Wagiran dan Doyin, Mukh. 2009. Bahasa Indonesia Pengantar Penulisan karya Ilmiah (Cetakan Pertama). Universitas Negeri Semarang. Semarang
Widyopramono. 1994. Kejahatan di Bidang Komputer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Makalah, artikel, dan karya ilmiah
Haryadi, Dwi. 2007. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Disertasi. Universitas Diponegoro
Web
Muarif, Syamsul. 2010. Menunggu Lahirnya Cyber Law, dalam http//www.cybernews.cbn.id, diakses tanggal 18 Oktober 2010, 22:00 WIB
Hamzah, Andi. 2009. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Internet (Cybercrime) di Indonesia.  http://andi-hamzah.blogspot.com/2009/10/upaya-pencegahan-dan-penanggulangan.html diakses tanggal 18 Juni 2012 pukul 10:41 WIB
Peraturan perundang-undangan
Mahkamah Konstitusi. 2011. Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[1] Dwi Haryadi dalam Abdul Wahid dan Mohammad Labib. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1
[2] Ahmad M. Ramli. Cyber Law dab HAKI dalam Sistem Hukum di Indonesia. (Bandung ;  PT Refka Aditama. 2004), hal 1
[3] Didik M. Arief Mansyur, Elisatris Gultom, Cyber law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung; Reflika Aditama, 2005), hal. 8.
[4] Dwi Haryadi. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1-2
[5] Dwi Haryadi dalam Ermansjah Djaja. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cyberporn dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. (Semarang. Disertasi. 2007. Universitas Diponegoro), hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar