BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kejahatan
merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak
Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan
persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana
ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”.
Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun
sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini.
Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan
dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum
semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak
dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah
mudah untuk ditafsirkan, karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam
seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam
artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas
akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada
gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
B.Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perspektif kriminologi tentang pelaku kejahatan?
2. Apa
faktor yang mempengaruhi orang melakukan kejahatan?
BAB II
PEMBAHASAN
Mengenai
Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya, dari Klasik hingga
Kritis. Aliran klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19 dan
kemudian meluas ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab
ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya Arm- Chair (tulis menulis).
Psikologi mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis,
intelectualistis dan voluntaristis, aliran ini berpandangan adanya kebebasan
kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki
lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha pencegahan kejahatan.
Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang, sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang
punggung hukum pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang. Menurut
aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman
yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial
dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional,
dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu
menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang
mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat
adalah mereka yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata
terhadap pola berfikir banyak ahli (hukum) di Indonesia.
Aliran
positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran
klasik, aliran ini berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat.
Aliran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh
faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural.
Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti
dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi
atau ditentukan oleh perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Lambroso,
yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara
tegas mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir),
bahwa penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus
misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau
ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun
mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini
pengaruh dari Lombroso masih terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila
menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau
atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll.
Kemudian muncul aliran yang memperluas dari
individu (biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat menghasilkan penjahat.
Kejahatan merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur
kesempatan yang berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan,
rasisme dan lain-lain, sebagai faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa
tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Ketidak
puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian menampilkan perspektif baru
dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul
apa yang disebut denagan perspektif aliran kriminologi baru yang memiliki
pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.
Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial. Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal.
Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial. Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal.
Bagi aliran-aliran kriminologi baru
penyimpangan adalah normal, dalam pengertian manusia terlibat secara sadar
dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan
penjara, dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah
sekedar mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa
alternatif phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi adalah untuk
menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman personal,
organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa. Munculnya
aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan
kriminologi itu sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor
disebut dengan istilah Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan
jawaban-jawabn terutama terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan
jahat. Terlebih lagi studi yang dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan
hanyalah terhadap apa yang disebut dengan “kejahatan jalanan.” Terutama di
Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari sistem peradilan pidana sehingga
kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan yang dilakukan oleh
mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga lahirnya
aliran-lairan baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks
paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa disebut sebagai Lompatan
Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan akumulasi.
Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa
berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa
yang disjikan oleh kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal
yang menjadi sangat penting; bahwa angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan
tidak tercatat cukup besar (the dark number of crime), dan ;di samping
kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan korporasi (Corporate crime) dan
kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White Collar Crime), yang jarang
diketahui, dilaporkan dan dicatat. Pada intinya aliran baru mengecam statistik
kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat, dan menjelaskan kejahatan
secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan
komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya
kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu
dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka
yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan
keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman
yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi
terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang
kejahatan dan perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena
adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari
perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak
menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi. Ini
kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru
melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional
yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan
atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang
diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional,
namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan
dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan
pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam
dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll,
yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu
masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban
kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk
mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian
dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik
dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat
deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak
berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling yang
selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa
argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya
kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
A. Klasifikasi Penjahat
Noach melihat krimanalitas dari dua sisi, yaitu
1. Sisi
Perbuatannya
a. Cara
Perbuatan itu dilakukan, kelompok ini dapat dibagi menjadi:
Ø Perbuatan dilakukan dengan cara si korban mengetahui baik perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan. Misalnya dalam hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, dan delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik yang dilakukan sedemikian rupa sehingga si korban tidak mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada saat perbuatan itu dilakukan seperti penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan, dan peracunan. Perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana seperti bahan kimia, perlengkapan, dan sebaginya atau tanpa sarana.
Ø Perbuatan dilakukan dengan cara si korban mengetahui baik perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan. Misalnya dalam hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, dan delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik yang dilakukan sedemikian rupa sehingga si korban tidak mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada saat perbuatan itu dilakukan seperti penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan, dan peracunan. Perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana seperti bahan kimia, perlengkapan, dan sebaginya atau tanpa sarana.
Ø
Perbuatan dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau dilakukan dengan “biasa”.
b. Benda hukum yang dikenai atau menjadi obyek delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kekuasaan umum, dan lain sebagainya.
2. Sisi Pelakunya
Dilihat
dari sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si pelaku, mengapa melakukan
kejahatan, dan dari sifat pelaku sendiri.,Lombroso mengklasifikasi penjahat
sebagai berikut:
a. Penjahat
pembawaan (born criminal), yaitu penjahat yang dilihat dari ciri-ciri tubuhnya
(stigmata) karena atavisme (degenerasi) lalu menjadi jahat.
b. Penjahat
karena sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli, epilepsi, histeri,
dementia pellagra, dan pemabuk.
c. Penjahat
karena dorongan hati panas (passion) seperti membunuh istri simpanan suaminya
d. Penjahat
karena kesempatan yang dapat dibagi menjadi:
- Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena keadaan yang sangat melukai hati secara luar biasa dan mereka yang melakukan tindak pidana hanya karena tindakan teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran lalu lintas, dsb.
- Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena keadaan yang sangat melukai hati secara luar biasa dan mereka yang melakukan tindak pidana hanya karena tindakan teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran lalu lintas, dsb.
- Penjahat karena kebiasaan,
penjahat ini pada saat lahir normal, namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan
pada pengaruh lingkungan yang jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yang
menyimpang dari anggota masyarakat normal.
e. Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang baru pada keadaan kurang baik yang ringan-ringan saja telah terlibat dalam tindak pidana
e. Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang baru pada keadaan kurang baik yang ringan-ringan saja telah terlibat dalam tindak pidana
Dalam
klasifikasinya, Lombroso menggunakan kriteria psikis, fisik, dan lingkungan.
Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut:
Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut:
a.
Pembunuh
b. Penjahat agresif
c. Penjahat karena kurang kejujuran, dan
d. Penjahat karena dorongan hati panas atau
karena ketamakan
Aschaffenburg
membagi penjahat menjadi:
a. Penjahat karena kebetulan, yaitu mereka yang
melakukan tindak pidana karena culpa
b. Penjahat karena pengaruh keadaan, yaitu mereka
yang karena pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia melakukan kejahatan.
c. Penjahat karena kesempatan, yaitu mereka yang
karena ada kesempatan terbuka secara kebetulan, lalu melakukan tindak pidana.
d. Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka
yang berulang-ulang melakukan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak.
e. Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang
secara teratur melakukan kejahatan
f. Penjahat
professional, mereka yang secara teratur melakukan kejahatan secara aktif dan
sikap hidupnya memang diarahkan kepada kejahatan.
Abrahamsen
membagi penjahat menjadi:
a.
Penjahat sesat, Penjahat karena situasi tertentu, kebetulan, dan karena
pengaruh orang lain
b.
Penjahat kronis, Penjahat karena penyimpangan organis atau fungsional tubuh
maupun jiwa Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali terlibat dalam
suatu situasi, kronis, karena pengaruh orang lain.
c.
Penjahat neurotik, dan mereka yang bertindak
di bawah pengaruh dorongan di dalam dirinya.
d. Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat neurotik banyak dilihat dari tingkah lakunya, maka penjahat dengan watak neurotis dilihat dari watak kepribadiannya.
Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang baik (superego)
d. Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat neurotik banyak dilihat dari tingkah lakunya, maka penjahat dengan watak neurotis dilihat dari watak kepribadiannya.
Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang baik (superego)
B. Penyebab Kejahatan
Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga
kelompok pendapat yaitu:
a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku.
b. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri.
a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku.
b. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri.
c.
Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena
pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.
Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau
tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat
disebutkan sebagai penyebabnya bahwa ada hubungan langsung antara keadaan
ekonomi dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan statistik
dalam penelitian. Selain keadaan ekonomi, penyebab di luar diri pelaku dapat
pula berupa tingkat gaji dan upah, pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok,
bahkan juga agama. Banyak penelitian yang sudah dialakukan untuk mengetahui
pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku untuk melakuakn sebuah tindak pidana.
Bagi para
penganut aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku,
mereka berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat
dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan
bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakt itu
diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia,
menyatakan sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya, khususnya
jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan
melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi
merupakan penyebab kriminalitastelah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul
pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis atau bakat
psikis dan bakat ragawi.
Untuk menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah
dapat dilakukan dalam hubungan dengan :
a.
Proses yang terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis)
b.
Proses yang terjadi sebelum kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik)
Proses
seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:
A. Perilaku
kriminal itu dipelajari Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan
orang lain di dalam proses komunikasi. Inti dari mempelajari perilaku kriminal
terjadi di dalam kelompok pribadi yang intim. Dalam
mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari meliputi:
a. Teknik melakukan
kejahatan
b. Arah
khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap
a. THORSTEN
SELLIN berpendapat bahwa konflik antar norma dari tatanan budaya yang berbeda
mungkin terjadi karena:
a. Tatanan
ini berbenturan di daerah budaya yang berbatasan;
b. Dalam
hal norma hkum, hukum dari suatu kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah
kelompok budaya yang lain.
c. Anggota
dari kelompok budaya pindah ke kelompok budaya yang lain.
Kecenderungan
dalam teori sosiologi untuk memberikan nama kepada struktur sosial yang
berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis manusia yang tidak dibatasi
oleh kontrol sosial. Tokohnya adalah MERTON yang mencoba mencari bagaimana
struktur sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan
bersifat non-konformis dan bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial dan
struktur sosial terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah tujuan,
maksud dan kepentingan budaya yang telah bersama-sama ditentukan. Hal ini
meliputi aspirasi budaya, yang oleh MERTON disebut “pola hidup berkelompok”
(designs for group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur dan
mengendalikan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kesesuaian atau koordinasi
antara “tujuan” dan “cara” sangatlah perlu di dalam struktur sosial, sebab
tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal tersebut
akan mengarah kepada “anomie” yaitu situasi tanpa norma dalam struktur sosial
tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi dalam bidang
ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan yang diberikan
oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya.
Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori
sosiologik mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada:
a.
Aspek konflik kebudayaan (Culture conflict) yang terdapat dalam sistem social
b.
Aspek disorganisasi social
c. Aspek ketiadaan norma
d.
Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yang terdapat di dalam kebudayaan induk (dominan
culture).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Relativitas
Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena
kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan
perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan
proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat
hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial
di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan
berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana
kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam masyarakat,
golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan
dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan
penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah
sosiologi memandang arti sebuah kejahatan.
Kejahatan
merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak
Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan
persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana
ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”.
Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun
sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini.
Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batas Relativitas
kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum
semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak
dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal)
tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka
macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan
dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas
jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada
gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar