Selasa, 22 Januari 2013

PERLINDUNGAN KORBAN KDRT DITINJAU DARI UU NO.23 TAHUN 2004 (UNDANG UNDANG PENGHAPUSAN KDRT )

PERLINDUNGAN KORBAN KDRT DITINJAU DARI UU NO.23 TAHUN 2004 (UNDANG UNDANG PENGHAPUSAN KDRT )
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajiban harus didasari oleh agama. Hal itu perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kwalitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumahtangga dapat terganggu jika kwalitas pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakaman atau ketidakadilan terhadap orang yang berbeda dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk dikriminasi.
“ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” (vide Pasal 28 huruf G ayat 1 UUD 1945).
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus Kekerasan dalam Rumah Tangga (disingkat KDRT). Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama KDRT.
Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan  dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen. Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan keekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Terobosan hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Identifikasi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai kekerasan domestik sempat mengundang kontraversi karena ada yang berpendapat bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam kerangka relasi pekerjaan (antara pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT mengisi jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang perburuhan di Indonesia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
            Beradasarkan UU PKDRT adapun bentuk  perlindungan perlindungan terhadap korban KDRT adalah sebagai berikut ini :
1.      Perlindungan oleh pihak kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 hari dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama tenaga kesehatan, social, relawan, dan pendamping rohani untuk melindungi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruangan pelayanan khusus di kepolisisan dengan system dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah di akes oleh korban. Terhadap pelaku KDRT berdasarkan tugas dan wewenang kepolisian dapat melakukan penyelidikan , penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup disertai dengan surat perintah penahanan ataupun tanpa surat penagkapan dan penahanan yang dapat diberikan setelah 1x 24 jam.
2.      Perlindungan oleh pihak avokat, diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi ataupun negoisasi diantara para pihak korban dan pelaku KDRT, serta mendapingi korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dalam siding pengadilan melalui koordinasi dengan sesame penegak hokum, relawan pendamping dan pekerja social
3.      Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 tahun  dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 hari setelah pelaku tersebut melakukan pelangaran atas peryatan yang ditandatanganinya mengenai kesangupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.
4.      Pelayanan kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visume atas permintaan penyidik polisi atau membuat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
5.      Pelayanan social yang diberikan dalam bentuk konseling untuk memguatkan dan member rasa aman trhadap korban, member informasi tentang hak hak korban untuk mendapatkan perlindungan.
6.      Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak hak korban  untuk mendapatkan seeorang atau relawan pendamping,memdapingi seseorang untuk memaparkan secara objektif KDRT yang dialaminya dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, medegarkan dan memberikan pengutan secara psikologis dan fisik kepada korban.
7.      Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajiban,memberikan pengutan iman dan taqwa kepada korban.

TUGAS ARTIKEL
PERLINDUNGAN KORBAN KDRT DITINJAU DARI UU NO.23 TAHUN 2004 (UNDANG UNDANG PENGHAPUSAN KDRT )
0LEH
ANTONIUS S
B10008169
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar