PERLINDUNGAN
KORBAN KDRT DITINJAU DARI UU NO.23 TAHUN 2004 (UNDANG UNDANG PENGHAPUSAN KDRT )
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman,
tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang. Dengan demikian, setiap
orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajiban harus didasari
oleh agama. Hal itu perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun
keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat
tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar
kwalitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga
tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumahtangga dapat terganggu jika kwalitas
pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi
kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakaman atau ketidakadilan
terhadap orang yang berbeda dalam lingkup rumah tangga tersebut. Untuk
mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Negara
berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk dikriminasi.
“ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi” (vide Pasal 28 huruf G
ayat 1 UUD 1945).
Perkembangan
dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual,
dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan
perangkat hukum yang memadai untuk menghapus Kekerasan dalam Rumah Tangga
(disingkat KDRT). Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan
dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama KDRT.
Definisi
Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan dalam
Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama
lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari
berbagi elemen. Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai
diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai
upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti
negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu
hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan
internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan
keekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga
(penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan
tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara
pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya.
Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan
pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara,
kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang
melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah
terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya
perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan
keluarga atau rumah tangga.
Terobosan hukum lain yang juga
penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi aktor-aktor yang
memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan
bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b)
orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a)
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai
anggota keluarga. Identifikasi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai
kekerasan domestik sempat mengundang kontraversi karena ada yang berpendapat
bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam kerangka relasi pekerjaan (antara
pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT mengisi jurang
perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang perburuhan di Indonesia
tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga korban kekerasan dalam rumah
tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga.
UU PKDRT merupakan terbosan
hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi
telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus
KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak
mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri
atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal
tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur
pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Beradasarkan
UU PKDRT adapun bentuk perlindungan
perlindungan terhadap korban KDRT adalah sebagai berikut ini :
1. Perlindungan
oleh pihak kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama
7 hari dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama tenaga
kesehatan, social, relawan, dan pendamping rohani untuk melindungi korban.
Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruangan pelayanan khusus
di kepolisisan dengan system dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang
mudah di akes oleh korban. Terhadap pelaku KDRT berdasarkan tugas dan wewenang
kepolisian dapat melakukan penyelidikan , penangkapan dan penahanan dengan
bukti permulaan yang cukup disertai dengan surat perintah penahanan ataupun
tanpa surat penagkapan dan penahanan yang dapat diberikan setelah 1x 24 jam.
2. Perlindungan
oleh pihak avokat, diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi
ataupun negoisasi diantara para pihak korban dan pelaku KDRT, serta mendapingi
korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dalam siding
pengadilan melalui koordinasi dengan sesame penegak hokum, relawan pendamping
dan pekerja social
3. Perlindungan
dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang
diberikan selama 1 tahun dan dapat
diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah
penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 hari setelah pelaku tersebut melakukan
pelangaran atas peryatan yang ditandatanganinya mengenai kesangupan untuk
memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.
4. Pelayanan
kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap
pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan
tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visume atas permintaan penyidik
polisi atau membuat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum
sebagai alat bukti.
5. Pelayanan
social yang diberikan dalam bentuk konseling untuk memguatkan dan member rasa
aman trhadap korban, member informasi tentang hak hak korban untuk mendapatkan
perlindungan.
6. Pelayanan
relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak hak korban untuk mendapatkan seeorang atau relawan
pendamping,memdapingi seseorang untuk memaparkan secara objektif KDRT yang
dialaminya dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan,
medegarkan dan memberikan pengutan secara psikologis dan fisik kepada korban.
7. Pelayanan
oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak dan
kewajiban,memberikan pengutan iman dan taqwa kepada korban.
TUGAS
ARTIKEL
PERLINDUNGAN
KORBAN KDRT DITINJAU DARI UU NO.23 TAHUN 2004 (UNDANG UNDANG PENGHAPUSAN KDRT )
0LEH
ANTONIUS
S
B10008169
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
JAMBI
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar