PERBANDINGAN SISTEM PERUMUSAN KUHP
BELANDA DAN INDONESIA
Pidana materiil merupakan keseluruhan peraturan hukum yang
menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana
itu seharusnya menjelma, Simoans merumuskan pengertian mengenai pidana materiil
ini sebagai petunjuk dan uraiaan tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat
dapatnya dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana
dan aturan tentang pemidanaan, mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu
dapat dijatuhkan[1]
Dalam substansi pidana materiil tersebut
sudah barang tentu antar negara berbeda sifat dan berbeda jenis sanksi dan aturan yang terkandung di dalamnya sebab antar negara mempunyai kultur yang berbeda satu dengan yang lainnya.perbedaan ini bisa dipengaruhi oleh kultur yang berupa hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat dan dipositifisasi oleh negara dan dijadikan sebagai hukum positif yang berlaku di masyarakat maupun oleh siklus keadaan bekas jajahan sehingga berdampak pada penerapan hukum dari negara bekas jajahan.
sudah barang tentu antar negara berbeda sifat dan berbeda jenis sanksi dan aturan yang terkandung di dalamnya sebab antar negara mempunyai kultur yang berbeda satu dengan yang lainnya.perbedaan ini bisa dipengaruhi oleh kultur yang berupa hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat dan dipositifisasi oleh negara dan dijadikan sebagai hukum positif yang berlaku di masyarakat maupun oleh siklus keadaan bekas jajahan sehingga berdampak pada penerapan hukum dari negara bekas jajahan.
Penerapan kebudayaan Indonesia
kedalam aturan atau hukum yang berlaku di Indonesia sudah barang tentu menjadi
hal yang biasa dan mudah untuk diterapkan sebab ada kecenderungan masyarakat
untuk taat dan tunduk terhadap aturan yang direduksi dari kebudayaan yang telah
hidup dan berkembang di masyarakat sehingga masyarakat tidak perlu menyesuaikan
aturan dengan kehidupan sehari-hari karena masyarakat sudah terbiasa dengan
adanya kebudayaan tersebut
Berbeda dengan aturan yang mereduksi
dari kultur masyarakat sendiri, aturan yang dibuat oleh negara penjajah tentu
menjadi hal yang sangat susah untuk diterapkan walaupun masyarakat sudah
berusaha untuk memahami dan mencoba untuk beradaptasi, tapi kemudian hal ini
bertentangan dengan jiwa masyarakat bekas negara jajahan yang basicnya pun
sudah berbeda dengan jiwa negara penjajah. Oleh sebab itu penting kiranya
mempelajari bagaimana perbedaan antara negara penjajah dengan negara yang
dijajah dalam hal penerapan hukum.
Perbedaan antara negara penjajah dan
negara bekas jajahan dalam makalah ini dispesifikkan antara negara Indonesia
dengan negara Belanda mengingat kultur masyarakat Indonesia sangat jauh berbeda
dengan hukum yang dibawa belanda ke Indonesia, dan hal ini menjadi rancu ketika
terus menerus memaksakan kehendak untuk mengadopsi hukum belanda ke dalam aturan
yang mengatur masyarakat Indonesia melalui Kitab Undang-undang hukum pidana
atau het wetboek van Strafrecht voor Nederlansch. Berikut adalah perbedaan
antara konsep KUHP negara Indonesia dengan belanda:
A.
KUHP di negara Indonesia
Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common
Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum
Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997
Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan
perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing).
UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur
ganti rugi.
Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada
pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law - Kompilasi Hukum
Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur
didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya pengakuan yang meletakkan
hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari
paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia
menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga
mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan
hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat
dalam merumuskan sistem hukum nasional
Akan tetapi dalam sistem hukum yang terdapat dala Kitab
Undang-undang hukum pidana (KUHP) berbeda dengan penerapan sistem anglo saxon,
sebab Indonesia mengadopsi sistem Civil law hal ini ditandai dengan adanya
kodifikasi hukum berupa KUHP, yang terdiri atas 569 pasal yang dapat dibagi
menjadi:
1.
Buku
I : memuat mengenai ketentuan-ketentuan
umum (Algemene Leersstrukken)- Pasal 1-103
2.
Buku
II : mengatur
tentang tindak pidana kejahtan (Misdrijven) – Pasal 104 - 488
3.
Buku
III : mengatur tentang
tindak pidana pelanggaran (overstredingen) – Pasal 489 – 569
Sistem hukuman dalam KUHP tercantum dalam pasal 10 yang
menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak
pidana sebagai berikut:
1.
Hukuman pokok (Hoofd straffen)
a.
Hukuman mati
b.
Hukuman penjara
c.
Hukuman kurungan
d.
Hukuman denda
2.
Hukuman tambahan (Bijkomende
straffen)
a.
Pencabutan beberapa hak tertentu
b.
Perampasan barang-barang tertentu
c.
Pengumuman putusan hakim
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan
dalam ketentuan itu kelihatannya sederhana sekali. Akan tetapi kalau
diperhatikan benar-benar maka kesederhanaannya menjadi kurang. Hal ini karena
sistemukum yang kelihatan sederhana dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan
sifat objektif hukuman yang sesuai dengan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya
dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidanyanya saja. Hal inilah yang
kemudian sering menimbulkan pertentangan pendapat antar para ahli hukum sarjana
hukum[2].
Alasan pemakaian hukuman mati dalam KUHP ini dikarenakan keadaan di Indonesia
dengan ribu-ribu pulau , beraneka ragam suku bangsa, tenaga kepolisian kurang
mencukupi jadi perlu pidana yang berat[3]
B.
KUHP di negara Belanda
Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana
kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan
adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum
Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka
Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia
dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law
System).
Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman
dan Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution” sampai
Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke 19-an. Dalam tata
hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi dikenal pada masa ekspansi
kekuasaan Napoleon yang menyebabkan negeri Belanda bagian dan Empinium
Perancis. Pada tahun 1810 Kitab hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon
dalam hukum perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana
(Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh, Kodifikasi
tetap dinyatakan berlaku.
Jenis pidana yang tercantum dalam Pasal 9 KUHP belanda tidak
dicantumkan hukuman mati. Dan terdapat pidana tambahan yang ada dalam KUHP
belanda ini yakni pada Pasal 10 yaitu penempatan di tempat kerja negara.
KUHP belanda terus menerus diubah sesuai dengan tuntutan
kemajuan teknologi dengan penghapusan (deskriminalisasi) misal delik mukah
(overspel) telah dihapus kemudian perubahan rumusan delik, misal Pasal 239 yang
sepadan dengan Pasal 281 KUHP. Kata-kata “di depan umum” diganti dengan”di
tempat yang menjadi lalu lintas umum” dengan analogi bahwa di dalam kamar tidur
rumah sendiri bertelanjang dengan membuka jendela kamar yang menghadap ke jalan
umum, berarti di depan umum karena dapat dilihat oleh orang yang lewat jalan
tersebut. Tetapi jelas tidak lagi dapat dipidana di belanda perbuatan semacam
itu, karena tempat tidur rumah sendiri bukanlah tempat yang menjadi lalu lintas
umum
Sistem denda dalam KUHP belanda didasarkan pada kategori,
dari kategori satu sampai dengan enam. Dalam kategori tersebut dicantumkan
maksimum denda. Dicantumkan dalan Buku I yaitu Pasal 23
Korporasi (badan hukum) juga dicantumkan ke dalam KUHP
belanda sejak Tahun 1976 yang dapat dijatuhi hukuman berupa hukuman denda,
karena tidak mungkin dipakai hukuman penjara.
Dicantumkannya sistem pidana alternatif ada juga
alternatif/kumulatif denda pada semua perumusan delik, termasuk delik terhadap
keamanan negara, tidak terkecuali makar terhadap negara
Karena pengaruh dari hukum pidana modern, yang mengatakan
bahwa jika suatu perbuatan merupakan delik tetapi secara sosial kecil artinya
maka tidaklah perlu dijatuhkan pidana atau tindakan, menjelma dalam sisipan
KUHP belanda 1984 Pasal 8a. “jika hakim menganggap patut berhubung dengan
kecilnya arti suatu perbuatan, kepribadian pelaku atau keadaan-keadaan pada
waktu perbuatan dilakukan, begitu pula sesudah perbuatan dilakukan, ia
menentukan dalam putusan bahwa tidak ada pidana atau tindakan yang akan
dikenakan”
BAB III
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan antara KUHP Indonesia dengan KUHP belanda
padahal jika ditilik dari historisnya KUHP Indonesia (WvS) mengadopsi dari KUHP
Belanda(Ned. MvS) sehingga secara otomatis harusnya tidak ada perbedaan yang
signifikan antara Belanda dengan Indonesia, akan tetapi setelah dipelajari dan
dikomparasikan terdapat sekali perbedaan, sebab KUHP belanda dirubah dengan
mereduksi hukum-hukum baru yang lebih update dan lebih fleksibel terhadap
keadaan dan tidak kaku, sedangkan Indonesiabelum mampu untuk merubah hukum yang
dipakai dari KUHP Belanda hingga sekarang, jadi Indonesia masih mencerminkan
hukum yang pertama kali dibuat oleh Belanda dan sama sekali tidak beradaptasi
dengan masyarakat pada umumnya, adapun perbedaannya adalah sebagai berikut
No.
|
Perbedaan
|
KUHP
Indonesia
|
KUHP
Belanda
|
1
|
Penggunaan
subjek hukum korporasi
|
Belum
dicantumkan
|
Sudah
dicantumkan sejak tahun 1976
|
2
|
Sistem
denda
|
Di
taruh pada setiap Pasal tindak Pidana
|
Dirumuskan
menjadi beberapa kategori, dan pada pasalnya hny disebutkan “denda untuk
kategori”
|
3
|
Hukuman
pidana
|
Dicantumkan
hukuman mati dalam pasal 10
|
Tidak
lagi dipakai dan tidak dicantumkan, dalam hukuman tambahan dicantumkan
hukuman penempatan kerja di Negara
|
4
|
Sesuai
dengan kebutuhan masyarakat
|
Tidak
sebab walaupun perbuatan pidana sekecil apapun itu akan tetap dijatuhi hukum
pidana
|
Iya,
sebab pada Pasal 9a dijelaskan bahwa delik kecil tidak perlu dijatuhi pidana
atau tindakan
|
5
|
Sistem
pemidanaan
|
Alternatif
|
Alternatif,
alternatif kumulatif dan kumulatif
|
Hal ini membuktikan bahwa Indonesia belum mampu untuk
menjadi negara yang independent, walaupun secara de-juro dan de-facto Indonesia
sudah dapat dinyatakan sebagai negara yang merdeka. Ketidak mampuan Indonesia
dalam mengikuti perkembangan-perkembangan hukum yang maju belum dapat dilihat,
terbuti bahwa KUHP Indonesia masih menerapkan KUHP lama Belanda yang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamzah, Andi. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia edisi
revisi. Jakarta: Sinar Grafika
Djamali,
R Abdul. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Hamzah, Andi. 1995. Perbandingan Hukum Pidana Berbagai
Negara. Jakarta: Sinar Grafika
[2] R Abdul
Djamali. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hal.186-187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar